Kebijakan Tidak Efektif, Benahi Dulu Sistem Distribusi BBM Bersubsidi

Kompas, 22 April 2010

Jakarta, Kompas – Rencana pemerintah untuk melarang pembelian bahan bakar minyak bersubsidi bagi mobil pribadi keluaran tahun 2000 ke atas dinilai tidak efektif. Oleh karena, penerapan kebijakan itu butuh pengawasan ketat dan tidak signifikan mengurangi konsumsi BBM bersubsidi.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-P, Ismayatun, Rabu (21/4) di Jakarta, menilai, rencana pemerintah melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil yang dibuat tahun 2000 ke atas sulit direalisasikan.

Apa setiap stasiun pengisian bahan bakar umum harus dikasih pengawas dan pelaksanaannya lewat birokrasi panjang A�Pengurangan kuota BBM, jika kebijakan itu diberlakukan, juga tidak terlalu signifikan, A�ujarnya.

Apalagi temuan Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan, pemerintah, dalam hal ini Badan Pengatur Hilir Migas, belum memaksimalkan pengendalian penyaluran BBM bersubsidi tahun 2008 sehingga ada kelebihan volume yang ditetapkan APBN-P sebesar 3,68 juta kiloliter. A�Seharusnya kelemahan sistem pengendalian intern atas penyaluran BBM bersubsidi itu dulu yang harus dibenahi, A�kata dia.

Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menambahkan, kebijakan ini tidak matang, baik dari sisi konsep, implementasi, maupun efektivitasnya. Argumentasi logisnya untuk mengurangi konsumsi BBM bisa diterima, tetapi logikanya terbalik sebab kendaraan yang dibuat sebelum tahun 2000 justru lebih boros dalam konsumsi BBM.

Batasan tahun yang dipakai sebagai basis untuk membedakan mewah atau tidaknya kendaraan itu tidak tepat. Lebih tepat adalah kapasitas silinder atau cc, misalnya 2.500 cc ke atas. Itu pun sulit implementasinya, A�kata dia.

Agar lebih efektif, lebih baik pemerintah secara tegas mengatur bahwa yang berhak memakai BBM bersubsidi hanya kendaraan umum dan sepeda motor. A�Lebih baik pemerintah mempersiapkan tambahan pasokan BBM nonsubsidi dan membenahi transportasi massal, baru melarang kendaraan pribadi pakai BBM bersubsidi, A�ujarnya.

Namun, anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto, justru mendukung rencana pemerintah itu. Pengguna mobil buatan tahun 2000 ke atas dinilai tergolong mampu sehingga tak layak mendapat BBM bersubsidi. A�Pelaksanaannya harus bertahap dan butuh sosialisasi, A�kata dia.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita H Legowo dalam siaran pers menyatakan, pemerintah telah menyusun peta jalan pengalihan BBM bersubsidi. Pada tahun 2011, distribusi tertutup BBM bersubsidi direncanakan dapat dilakukan.

Ada wacana untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi karena banyak yang salah sasaran, A�kata Evita.

Salah satunya, pembatasan tahun pembuatan kendaraan, misalnya, kendaraan di bawah tahun 2000 boleh mendapat BBM bersubsidi. Adapun mobil buatan tahun 2000 ke atas tidak boleh memperoleh BBM bersubsidi. Nantinya, pemerintah tak lagi memakai kartu pintar, tetapi stiker sehingga butuh kerja sama dengan kepolisian. (EVY)

 

Mobil Lebih Boros Kok Malah Boleh Pakai BBM Bersubsidi?

Detik Finance, 22 April 2010 Jakarta

Rencana pemerintah untuk melarang konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil di atas tahun 2000 dinilai tidak logis. Mobil-mobil yang diproduksi sebelum tahun 2000 justru lebih boros dalam mengkonsumsi BBM.

“Meskipun argumentasi logisnya untuk mengurangi konsumsi bbm bisa diterima, namun logikanya terbalik. Karena yang sebelum tahun 2000 justru relatif lebih boros,” ujar Direktur EksekutifA�ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto, saat dihubungi detikFinance, Kamis (22/4/2010).

Pri Agung juga menilai, penggunaan batasan tahun yang dipakai pemerintah sebagai basis untuk membedakan mobil mewah dengan mobil tidak mewah sebenarnya tidak tepat.Menurut dia, lebih tepat jika pemerintah menggunakan kapasitas silinder(CC) sebagai dasar pengkategorian mobil.

Ia mencontohkan, mobil 2500 cc ke atas masuk dalam kategori mobil mewah sehingga tidak boleh membeli BBM bersubsidi. “Namun keduanya (tahun maupun cc) sama-sama sulit implementasinya,” kata dia.

Untuk lebih efektif, lanjut dia,sebenarnya akan lebih baik jika pemerintah secara tegas mengatur bahwa yang berhak menggunakan BBM subsidi hanya kendaraan umum dan sepeda motor. Tapi, sebelum melarang mobil pribadi menggunakan BBM subsidi, imbuh Pri Agung,

pemerintah harus menjamin ketersediaan pasokan bbm non-subsidi terlebih dahulu dan juga membenahi transportasi massal yang memadai.

“Ini jauh lebih efektif karena benar-benar memperbaiki hal-hal yang mendasar,” tandasnya.

Seperti diketahui, pemerintah kini sedang menggodok mekanisme distribusi BBM secara tertutup, agar subsidi BBM nantinya lebih tepat sasaran. Salah satu opsinya adalah dengan melarang mobil di atas tahun 2000 menggunakan BBM bersubsidi.

Wapres Boediono Harus Segera Putuskan Proyek Donggi-Senoro

detikFinance.com, 20 April 2010

Jakarta -A�Pemerintah lewat Wakil Presiden Boediono didesak untuk segera mengambil keputusan tentang kelanjutan proyek Donggi Senoro. Mulai dari investor migas hingga Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah meminta Wapres segera mengambil keputusan. Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sulteng Nawawi Sang Kilat menagih janji Wapres Boediono untuk segera menyetujui proyek Donggi senoro

“Kami tagih janji yang disampaikan Pak Boediono saat kunjungan ke Sulawesi pada 8 April lalu. Di sana dia bilang bahwa masalah Donggi Senoro akan secepatnya diselesaikan di Jakarta,” kata Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sulteng, Nawawi Sang Kilat dalam acara ‘Akselerasi Proyek Donggi Senoro’ di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (20/4/2010).

Menurut dia, keputusan mengenai kelanjutan proyek ini harus diputuskan karena keberadaan proyek ini nantinya akan memberikan tambahan kontribusi yang besar terhadap pendapatan daerah hingga Rp 1,2 triliun. Saat ini, pendapatan daerah Provinsi Sulteng sendiri tercatat sekitar Rp 1,1 triliun. Ia juga menyoroti soal masalah alokasi dari lapangan yang memiliki cadangan sekitar 2,5 tcf tersebut yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Menurutnya, sikap pemerintah yang tidak mengizinkan ekspor gas dari lapangan Senoro dan Matindok sebagai sikap yang diskriminasi. “Kenapa Bontang boleh diekspor tapi Senoro tidak boleh. Ini diskriminasi namanya,” kata dia.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Komisi VII DPR RI, Soetan Batoegana juga mendesak agar Wapres segera memutuskan kelanjutan soal proyek ini. Pasalnya jika tidak diputuskan maka Indonesia akan kehilangan momentum. “Soal Donggi Senoro selama 20 tahun ini kita hanya maju mundur maju mundur sementara negara lain sudah mulai memproduksi gas. Takutnya saat kita mau produksi harga gas malah sudah turun,” ungkapnya. Apalagi, lanjut dia, dalam pengembangan proyek ini, Pertamina dan Medco sudah memiliki kontrak internasional dengan pihak Mitsubishi dan juga para calon pembeli asal Jepang. Ia khawatir jika proyek ini terus tertunda maka akan merugikan investor dan mencoreng nama Indonesia di mata Internasional “Kita punya hubungan emosional dengan Jepang. Dia sudah habiskan duitnya untuk survey tahu-tahu dengan enaknya kita batalkan,” tandasnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menolak ini. Misalnya dari, sisi pendapatan, jika proyek ini berjalan maka pemerintah akan mendapatkan penerimaan dari dua sumber yaitu dari sisi hulu (upstream) dan hilir (downstream). “Karena di situkan Pertamina juga akan mendapatkan penerimaan dari sisi downstream juga,” kata dia. Sementara dari sisi harga, ia menilai harga yang disepakati jauh lebih baik dari harga jual gas ke Tangguh. “Apalagi saat ini harga gas tidak menentu yang pada saat normal, kalau harga minyak US$ 80 per barel maka harga US$ 6-7 per mmbtu, tapi sekarang hanya US$ 3-4 per mmbtu karena pasar juga sedang jenuh,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Direktur Utama Medco Energi Budi Basuki masih harap-harap cemas menanggapi persoalan ketidakpastian proyek Senoro ini. “Kita rajin (shalat) tahajjud saja,” ujarnya. Dia berharap proyek ini bisa selesai secepatnya, untuk mulai mengatasi persoalan defisit gas negara. “Kami mengharapkan Donggi Senoro bisa secepatnya karena sangat membantu bagi kepentingan daerah, bisa dilakukan seperti apa yang kita rencanakan ekspor domestik, berkontribusi bagi negara,” jelasnya. Budi mengakui, jika proyek ini tidak diselesaikan secepatnya, maka baik kontraktor dan pemerintah akan merugi. Apalagi dengan komposisi gas sebesar 70% untuk ekspor dan 30% untuk domestik. Namun, mengenai isu hengkangnya Mitsubisi karena kerugian akibat tersedatnya proyek ini, Budi masih bungkam.

Percepat Donggi-Senoro, BP Migas Pesimistis Capai Target Lifting

Kompas,A�20 April 2010

JakartaA�-A�Pengambilan keputusan proyek lapangan gas Donggi-Senoro yang berlarut- larut mencerminkan ketidakjelasan perencanaan pengembangan gas nasional. Padahal, percepatan proyek itu perlu untuk meningkatkan penerimaan negara dan mendukung pasokan gas domestik. A�Berlarut-larutnya masalah proyek pengembangan lapangan gas Donggi-Senoro menunjukkan tidak ada perencanaan pengembangan gas nasional yang jelas dan konkret, A�kata Direktur EksekutifA�Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan EnergiA�Pri Agung Rakhmanto, Senin (19/4) di Jakarta.

Kalau pemerintah memiliki perencanaan jelas dalam pengembangan sumber-sumber gas yang ada, masalah pengembangan lapangan gas Donggi-Senoro ini sudah selesai sejak lama, A�kata dia. Akhirnya, bersamaan terjadinya krisis gas, proyek Donggi-Senoro yang sedianya sudah siap jalan jadi korban, tidak jelas keputusannya hingga kini.A�Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, tidak hanya proyek ini saja yang terancam gagal, tetapi juga proyek-proyek migas lain. Oleh karena khawatir dengan inkonsistensi dan ketidakberanian pemerintah dalam mengambil keputusan, A�ujarnya.

Dalam memutuskan hasil produksi gas Donggi-Senoro untuk domestik atau ekspor, pemerintah perlu memerhatikan neraca gas nasional secara utuh. Dengan melihat aspek teknis, cadangan kecil dan terisolasi, serta sejarah pengembangan proyek, Donggi-Senoro sebaiknya tidak dipaksakan untuk domestik. Pengamat perminyakan, Kurtubi, menjelaskan, proyek pengembangan lapangan gas Donggi-Senoro harus diarahkan agar memberikan manfaat optimal bagi negara lewat penyelesaian win-win, yaitu ekspor dan domestik.

Dengan ekspor, kita dapat devisa dan menguntungkan daerah penghasil. Apalagi harga jual gasnya bagus, pembeli Jepang sepakat formula harga jual dikaitkan harga minyak mentah yang tidak dibatasi, A�ujarnya. Namun, opsi ekspor baru bermanfaat optimal jika pembangunan pabrik gas alam cair (LNG) dan fasilitas infrastruktur dilakukanA�PT PertaminaA�danA�MedcoA�selaku mitra lokal. A�Persoalannya, Mitsubishi jadi mayoritas sehingga akan menikmati keuntungan terbesar jika diekspor. Jika demikian, lebih baik 100 persen hasil gas Donggi-Senoro untuk domestik, A�kata dia. Saat ini keputusan proyek Donggi-Senoro di tangan Wakil Presiden Boediono.

Opsi yang diajukanA�Kementerian Energi dan Sumber Daya MineralA�adalah kombinasi ekspor dan domestik. A�Dalam memutuskan proyek pengembangan lapangan gas, harus dihitung nilai minimum untuk bisa mengeluarkan gas, A�kata Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Evita H Legowo.A�Target A�lifting A�Sementara itu, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) R Priyono dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VIIA�DPR, kemarin, menyatakan pesimistis bisa mencapai target lifting atau produksi minyak siap jual APBN 2010 sebesar 965.000 barrel per hari (BPH). Pihaknya baru memastikan produksi yang bisa dicapai 917.000 BPH. Perkiraan produksi 917.000 BPH itu berdasarkan perhitungan teknis mengingat industri migas dipengaruhi faktor alamiah dan teknis yang kadang sulit diprediksi. Karena itu, untuk memberikan kepastian penerimaan negara, pihaknya mengusulkan asumsi lifting minyak 917.000- 965.000 BPH dalam nota APBN Perubahan 2010. A�Kami tetap berupaya mencapai produksi 965.000 BPH, A�ujarnya. (EVY)

Pemerintah diminta perketat pengawasan lahan

Bisnis Indonesia, 19 April 2010

JAKARTA (Bisnis.com): Pemerintah diminta segera membuat peta peruntukan lahan yang sinkron antarsektoral serta memperketat pengawasan penggunaan lahan guna mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan izin.

DirekturA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rachmanto mengungkapkan sektor pertambangan tidak pernah lepas dari persoalan lahan, baik masalah perizinan maupun peruntukannya. A�Saya tidak tahu apakah yang di pertambangan itu tergolong mafia atau tidak. Yang jelas, banyak lahan tumpang tindih dan izin KP [kuasa pertambangan] yang tidak benar-benar diusahakan untuk kegiatan pertambangan. Bahkan, izinnya diperjualbelikan, A�ujarnya hari ini.Pasalnya, kata Pri, hingga kini persoalan tumpang tindih kawasan pertambangan dengan sektor lain, baik kehutanan, tata ruang, maupun dengan wilayah KP masih sering ditemukan.

Di sisi lain, Direktur Indonesia Coal Society (ICS) Singgih Widagdo menilai ketidaktepatan implementasi manajemen pengelolaan lahan juga bisa tergolong mafia di sektor pertambangan. A�Terus terang, saya belum tahu dan belum bisa menjawab soal mafia di pertambangan karena implikasi pengertian mafia itu belum jelas.” Dia menilai ketidaktepatan mengimplementasikan manajemen pengelolaan yang memunculkan praktik mafia tersebut. “Oleh karena itu, pemberian izin itu bisa saja dikeluarkan langsung oleh pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan otonomi daerah.”

Menurut dia, pemerintah harus bisa mendiskusikan secara bersama dengan seluruh instansi terkait terhadap peta peruntukan lahan yang ada. A�Seberapa jauh kesalahan yang dibuat satu departemen terhadap lainnya, apakah itu kesengajaan atau ketidaktahuan yang dilarikan oleh mafia atau tidak, bisa diselesaikan kalau semuanya jelas dan bersama. Bisa saja pemda mengeluarkan izin, tetapi mereka [pemda] tidak begitu memahami regulasi yang ada di pusat atau lintas sektor, A�kata Singgih.(fh)

 

PLN Gandeng Kuasa Pertambangan

Koran Jakarta, 19 April 2010

JAKARTA A�A�PT Perusahaan Listrik NegaraA�(PLN) berencana menggandeng Kuasa Pertambangan (KP) untuk mengamankan pasokan batu bara.

Tahun ini PLN membutuhkan 30 juta ton pasokan batu bara untuk keperluan pembangkit. A�Kita akan bekerja sama dengan Kuasa Pertambangan untuk mendapatkan kepastian pasokan batu bara. Ini untuk mengurangi kebergantungan ke pemasok batu bara, A�kata Direktur Utama PLN Dahlan Iskan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/4). Dahlan mengaku selama ini PLN tidak memiliki tambang batu bara sendiri sehingga 100 persen bergantung pada pasokan batu bara dari produsen. Ironisnya, kata dia, perusahaan listrik asing dari India dan Thailand memiliki kuasa pertambangan di Indonesia.Usaha memiliki tambang sendiri, kata Dahlan, sudah terlambat karena hasil pemantauan PLN selama tiga bulan terakhir menunjukkan lahan tambang batu bara sudah diberikan kepada pengusaha swasta dan asing.

Untuk itu, PLN akan mengadakan tender. Kita akan mengajak pemilik KP yang belum mengeksplorasi KP masing- masing untuk menawarkan kerja sama. A�Dahlan menambahkan kerja sama tersebut akan menciptakan kepastian pasar dan menjaga pasokan batu bara dalam jangka panjang di kedua belah pihak. Untuk itu, Dahlan meminta pemilik KP kecil untuk bergabung dan bekerja sama dengan PLN. Selama ini, imbuh Dahlan, PLN kesulitan mendapatkan kuasa pertambangan di daerah karena pihaknya tidak memiliki kemampuan untuk menyuap. (menyogok). Karena, untuk mendapatkan (izin) KP harus dengan cara menyuap. Direktur Energi Primer PLN Nur Pamudji menyebutkan PLN tahun ini masih membutuhkan pasokan batu bara sebanyak 30 juta ton. A�Tetapi kita pastikan tidak ada kenaikan pembelian tahun ini, memang ada potensi kenaikan pembelian dari 18 triliun ke 30 triliun rupiah, tetapi itu dalam beberapa tahun. A�Dihubungi terpisah, pengamat energi dariA�Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menyebut langkah PLN menggandeng KP cukup positif untuk mengamankan pasokan batu bara dalam jangka panjang. Ia meminta PLN tidak hanya menggandeng pemilik KP kecil, tetapi juga produsen batu bara besar yang selama ini memegang KP di berbagai daerah.

Langkah menggandeng KP positif untuk amankan energi primer untuk pembangkitnya. Tetapi sebaiknya KP besar juga digandeng, A�papar dia. Pasokan Gas Pri juga meminta PLN agar bekerja sama dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk mendapatkan kepastian pasokan gas. A�Jadi jangan hanya bergantung ke Perusahaan Gas Negara (PGN), itu juga efektif untuk menekan cost bahan bakar untuk pembangkit, A�kata dia. Nur Pamudji menyebut wacana PLN menggandeng KKKS merupakan upaya menjamin pasokan gas. PLN sendiri telah bekerja sama dengan KKSK dan menggunakan pasokan gas dari PGN untuk PLTGU Cilegon dan Muara Tawar. A�Kita selama ini beli gas dari Kodeco, Hess, dan Medco sedangkan pasokan gas dari PGN untuk dua PLTGU, A�tandas dia. aan/E-2

 

Buat perencanaan matang soal alokasi gas

Bisnis Indonesia, 14 April 2010

Pemerintah dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi disarankan untuk membuat perencanaan yang matang dan mengikat mengenai alokasi gas untuk domestik dan ekspor dari suatu sumber gas untuk lebih memberikan kepastian. Perencanaan alokasi yang matang lebih tepat jika dibandingkan dengan membuat klausul A�karet A�dalam kontrak ekspor gas yang justru dikhawatirkan mengganggu rencana pengembangannya. Klausul karet yang dimaksud terkait dengan rencana BP Migas untuk mewajibkan produsen untuk mengalihkan pasokan gas yang awalnya terkontrak ekspor ke pasar domestik apabila kondisi mendesak.

Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�Pri Agung Rakhmanto mengatakan sebenarnya dalam UU Migas telah ada ketentuan mengenaiA�domestic market obligationA�(DMO). Namun, tuturnya, sejauh ini aturan tersebut tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya karena kurangnya ketegasan sikap pemerintah, termasuk mengenai kebijakan harga.Rencana penetapan klausul pengalihan gas ekspor untuk domestik dalam kontrak-kontrak baru, katanya, hal itu justru terkesan aneh. Menurut dia, klausul tersebut justru bisa menghambat pengembangan sumber gas karena belum tentu ada pihak konsumen bisa menerima ketentuan tersebut.

Yang jelas kalau klausul itu diterapkan pemerintah harus siap membayar kompensasi. Dan belum tentu juga gas tersebut akan mendapatkan pembeli karena pihak konsumen atau buyer enggan menerima klausul tersebut, A�katanya hari ini. Seharusnya, tuturnya, pemerintah membuat rencana yang matang dan mengikat, dengan memisahkan sejak awal alokasi gas untuk ekspor dan domestik dari suatu sumber dengan memperhatikan faktor permintaan dan juga keekonomian proyek. A�Seharusnya dihitung dengan benar dulu kebutuhan domestik berapa baru kemudian ditetapkan porsi untuk ekspor yang bisa menjamin keekonomian proyek. Berapapun jumlahnya, alokasi itu harus sudah ada di awal dan itu mesti fixed. Memasukkan klausul kewajiban mengalihkan pasokan gas ke domestik baru setelah gas terkontrak untuk ekspor, agak aneh.

Neraca gas, imbuhnya, sejauh ini tidak menggambarkan perencanaan yang baik dan setiap tahun bisa berubah tergantung pada perubahan rencana dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). A�Pemerintah tidak pernah punya rencana sendiri dan hanya andalkan KKKS mau kemana, ke situ neraca gas bergeser. A�Selama ini, lanjutnya, pemerintah terkesan belum tahu harus diapakan cadangan gas yang sudah berstatus terbukti atau proven. Proyek-proyek yang sudah jelas dan sebenarnya bisa dijalankan segera, Donggi-Senoro, malah digantung. A�Jangan digantung sebab hal itu akan mengakibatkan rusaknya iklim investasi tidak hanya untuk Donggi-Senoro, tetapi untuk industri migas secara keseluruhan.

Sebelumnya, Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan seluruh kontrak ekspor gas bumi yang baru akan ditambahkan klausul baru mengenai kewajiban produsen gas yang memiliki cadangan gas bumi cukup besar untuk mengalihkan pasokannya ke domestik apabila terjadi kebutuhan gas bumi yang mendesak di dalam negeri. BP Migas, tuturnya, mengidentifikasi beberapa proyek besar yang akan ada penambahan klausul kewajiban tersebut, seperti Gas Masela, Natuna D Alpha, Tangguh train 3 masuk. (wiw)

Menatap Bisnis Perminyakan Nasional 2010
Pri Agung Rakhmanto, PhD.
Direktur Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute)

Meskipun secara umum sektor perminyakan (minyak dan gas) masuk dalam domain ekonomi, sektor perminyakan di Tanah Air bukanlah merupakan sektor ekonomi biasa. Di sisi hulu, dengan perannya masih sebagai kontributor terbesar kedua setelah pajak dalam penerimaan Negara (rata-rata persentase penerimaan migas terhadap penerimaan Negara dalam lima tahun terakhir mencapai 25% lebih), sektor perminyakan jelas sangat penting fungsi dan keberadaannya. Di sisi hilir, dengan tingkat ketergantungan konsumsi final energi nasional terhadap migas yang masih mencapai 75% lebih, dengan subsidi BBM plus subsidi elpiji yang masih menyerap anggaran belanja Negara rata-rata hingga Rp. 60 triliun lebih untuk setiap tahunnya, arti penting sektor perminyakan juga tak dapat dipandang sebelah mata.

Dapat dikatakan, sektor perminyakan adalah penentu postur anggaran Negara secara keseluruhan, baik dalam hal penerimaan maupun belanja, dan oleh karenanya juga penentu bagi berfungsi tidaknya anggaran Negara sebagai jangkar pertumbuhan ekonomi nasional, dan sekaligus juga masih berfungsi sebagai penyedia energi utama di Tanah Air hingga saat ini. Dengan posisinya yang masih sangat demikian strategis, baik dan buruknya kinerja sektor perminyakan nasional dengan segala faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi dinamika bisnis didalamnya dengan sendirinya akan sangat berpengaruh terhadap naik turunnya pergerakan roda perekonomian nasional secara keseluruhan.Kilas balik 2009 Mencermati kinerja sektor perminyakan nasional, di sisi hulu khususnya, dan dinamika bisnis didalamnya sepanjang tahun 2009, dari sekian banyak dinamika yang ada, ada beberapa highlights yang patut mendapatkan catatan dan (mungkin) perhatian khusus. Pertama, dalam hal produksi, seperti melanjutkan tren di tahun-tahun sebelumnya selama satu dasawarsa terakhir, produksi minyak nasional hingga kuartal ketiga tahun 2009 tercatat hanya mencapai 955 ribu bph. Meskipun Blok Cepu sudah mulai berproduksi, angka produksi itu lagi-lagi tidak mencapai target yang ditetapkan sebesar 960 ribu bph. Angka 955 ribu bph itupun sejatinya cenderung merupakan produksi semu karena sudah dengan memasukkan 1-3 juta barel (atau sekitar 2-8 ribu bph) stock inventory yang dilepas (dijual). Artinya produksi riilnya sesungguhnya hanya berkisar 947 – 953 ribu bph saja. Produksi gas, dikurun waktu yang sama mencapai 7830 MMSCFD, lebih tinggi daripada yang ditargetkan sebesar 7526 MMSCFD.

Mulai beproduksinya gas dari lapangan Tangguh yang ditujukan untuk ekspor ke China adalah salah satu faktor yang membuat produksi gas melampaui target. Kedua, dalam hal investasi, realisasi investasi hulu migas hingga akhir semester I 2009 mencapai 5,3 miliar dolar AS dan diperkirakan total akan mencapai 11,8 miliar dolar AS hingga akhir 2009, menurun dibandingkan realisasi tahun 2008 yang mencapai 12,1 miliar dolar AS. Dari angka tersebut, sekitar 87 persennya adalah investasi yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasi di wilayah operasi produksi. Target investasi migas tahun 2009 sendiri sebelumnya dipatok di kisaran 13,1 miliar dolar AS. Ketiga, dalam masalah cost recovery, dimana sebagai upaya menjawab tuntutan berbagai kalangan, termasuk legislatif, untuk melakukan efisiensi cost recovery, pemerintah meresponnya dengan rencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang cost recovery yang hingga tulisan ini dubuat belum kunjung keluar dan dengan membatasi pembayaran cost recovery pada tahun berjalan yang disesuaikan dengan target penerimaan Negara di APBN pada tahun anggaran yang sama (dalam hal ini sesungguhnya tidak berarti bahwa ada pembatasan cost recovery tetapi hanya menggeser pembayarannya saja ke tahun-tahun selanjutnya). Namun, di akhir tahun 2009, sinyalemen bahwa pembatasan itu akan ditiadakan muncul kembali. Keempat, dalam hal menyelesaikan dispute yang ada misalnya dalam hal keterlambatan produksi Blok Cepu ataupun menyangkut kelanjutan proyek gas Donggi Senoro, langkah penyelesaian yang benar-benar konkrit terhadap masalah tersebut hingga saat ini juga belum ada. Yang muncul di permukaan adalah beberapa hal yang justru kadang memunculkan tanda tanya besar karena semestinya hal semacam itu tak logis untuk dikemukakan.

Misalnya, ketika Blok Cepu terlambat berproduksi dan ada salah satu petinggi dari otoritas migas di tanah air menyatakan bahwa join agreement Blok Cepu adalah sangat buruk bukankah pemerintah sendiri yang sudah menyetujui dan menjalankannya Juga ketika proyek gas Donggi Senoro dipertanyakan banyak kalangan karena berorientasi ekspor dan kemudian pemerintah tak kunjung mengambil keputusan hingga kini, namun pada akhirnya tetap cenderung akan mengeskpornya bukankah sejak awal skenarionya memang akan diekspor dan oleh karenanya sebenarnya tak ada alasan untuk menunda-nunda keputusan itu yang membuat investor menjadi enggan karena penuh ketidakpastian Kelima, fenomena tidak diminatinya (tidak lakunya) blok-blok migas yang ditawarkan. Dari 17 blok yang ditawarkan melalui lelang regular dan 7 melalui mekanisme penawaran langsung pada penawaran putaran pertama, tercatat hanya 1 blok yang laku melalui tender langsung dan 2 blok melalui penawaran langsung. Alih-alih mencari akar penyebab yang lebih rasional seperti karena minimnya data atau karena memang tingkat prospektifitas blok yang ditawarkan memang rendah, pemerintah lebih memilih menyatakan bahwa krisis ekonomi global dan ketakutan investor akan penerapan pembatasan cost recovery dan UU Lingkungan Hidup sebagai penyebab utama tidak lakunya blok-blok yang ditawarkan tersebut. Ada beberapa hal penting yang dapat kita identifikasi dari highlights tersebut. Pertama adalah target dan perencanaan yang cenderung tidak realistis sehingga sulit dijadikan pegangan dan meragukan.

Kedua adalah investasi yang terlalu menitikberatkan pada tahap kegiatan operasi produksi dan bukan kegiatan eksplorasi. Ketiga adalah respon yang tidak tepat terhadap permasalahan yang timbul. Keempat adalah inkonsistensi kebijakan dan ketidakberanian mengambil keputusan secara tepat dan tepat. Kelima adalah keengganan untuk melakukan perbaikan internal dan cenderung menyalahkan faktor eksternal sebagai penyebab masalah. Daftar negatif Dari kacamata kondusivitas iklim bisnis dan investasi, kelima poin tersebut pada dasarnya dapat dikatakan merupakan faktor-faktor yang dapat (dan bahkan mungkin telah) menyebabkan iklim investasi perminyakan di tanah air menjadi tidak kondusif. Jikapun tidak menjadi penentu karena ada faktor-faktor lain yang berpengaruh, kelima poin di atas setidaknya merupakan faktor yang berimplikasi negatif terhadap bisnis dan investasi perminyakan di tanah air. Target produksi yang tidak realistis dan cenderung dipaksakan berpotensi membuat para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bingung, tertekan, dan mencari jalan pintas untuk memenuhinya dengan segala cara yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan lapangan migas yang baik dan berkelanjutan. Tak mengherankan oleh karenanya ketika 87 persen lebih dari investasi kemudian dialokasikan untuk kegiatan produksi saja yang padahal dalam hal ini dengan hanya mengandalkan produksi dari lapangan tua (existing) upaya peningkatan produksi sangat tak bisa diharapkan. Sementara investasi untuk kegiatan eksplorasi yang sesungguhnya merupakan kunci bagi kelangsungan produksi itu sendiri menjadi terabaikan sehingga penemuan cadangan baru menjadi sangat minim. Maka tak perlu heran pula manakala produksi juga tak bisa meningkat sementara jumlah cadangan terbukti minyak kita saat ini pun hanya tinggal tersisa sekitar 3,8 miliar barel.

Atau jika tanpa penemuan baru dan dengan tingkat produksi saat ini hanya bisa bertahan kurang dari 11 tahun dari sekarang. Respon yang salah terhadap suatu masalah justru memunculkan masalah baru dan menambah kompliksitas permasalahan. Dalam masalah tuntutan efisiensi cost recovery, rencana penerapan PP cost recovery dan prosedur pembatasan yang kemudian akan dicabut lagi tidak hanya berpotensi membuat pengaturan cost recovery menjadi rancu dan tumpang tindih, tetapi juga mengganggu kegiatan bisnis perminyakan itu sendiri. Padahal yang diperlukan sesungguhnya adalah lebih pada langkah konkrit untuk memperkuat pengawasan cost recovery di tingkat operasional seperti pada proses procurement dan pengadaan barang dan jasa dan pada proses justifikasi disetujui atau tidak disetujuinya penerapan teknologi atau peralatan operasi eksplorasi dan produksi tertentu. Inkonsistensi kebijakan dan ketidakberanian mengambil keputusan secara tepat pada waktu yang diperlukan jelas tak hanya membuat investor ragu dan bingung tetapi juga terombang-ambing sehingga terkuras energi dan resourcesnya. Ditambah dengan keengganan pemerintah untuk melakukan perbaikan internal secara lebih mendasar dan lebih seringnya mengkambinghitamkan faktor lain, maka menjadi lengkap sudah untuk bisa menjelaskan mengapa apa yang ditawarkan (seolah) menjadi tak menarik bagi investor. Peluang dan prospek 2010 Sisi positif dan peluang perbaikan yang memungkinkan terciptanya iklim bisnis dan investasi perminyakan nasional yang lebih baik dan lebih kondusif di tahun 2010 bukannya tak ada. Rencana menghilangkan pseudo pembatasan cost recovery adalah salah satu langkah positif.

Meskipun efektifitasnya tentu juga masih harus dilihat karena sesungguhnya sebelumnya pun cost recovery juga tak dibatasi. Mulai berproduksinya lapangan-lapangan besar seperti Blok Cepu dan Tangguh yang walaupun tidak memberikan tambahan penerimaan negara dan mendorong perekonomian nasional secara maksimal karena masih dibawah kapasitas produksinya untuk Blok Cepu dan karena hanya ditujukan untuk ekspor untuk gas Tangguh tetap harus diakui merupakan faktor yang memberi ruang dan daya dorong positif bagi pemerintah untuk dapat melakukan perbaikan-perbaikan di sektor perminyakan. Tingkat harga minyak dunia, yang meskipun dapat berfluktuasi secara tajam, namun kemungkinan akan cenderung mencapai keseimbangan di kisaran harga 70 – 80 dolar AS per barel atau bahkan lebih tinggi, juga merupakan faktor eksternal yang tak kalah penting bagi iklim investasi perminyakan di tanah air di tahun 2010. Dengan tingkat harga minyak yang relatif akan cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun 2009, ekspektasi dari para KKKS untuk mendapatkan tingkat pengembalian investasi yang lebih tinggi jelas merupakan daya dorong internal yang dapat memacu para KKKS untuk lebih meningkatkan investasinya. Pada dasarnya, kondisi pasar secara fundamental di tahun 2010 dalam konteks investasi dapat dikatakan relatif lebih menjanjikan dibandingkan dengan kondisi tahun 2009.

Dengan kata lain, harapan untuk tercapainya perbaikan kinerja atau minimal mencapai kinerja yang sama dengan tahun 2009 di sektor perminyakan nasional sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sulit untuk diraih. Hanya saja karena di dalam internal tata kelola perminyakan nasional masih (cukup kuat) bernaung sederet daftar negatif sebagaimana dikemukakan di atas, yang perbaikannya secara mendasar dan signifikan agak sulit bisa diharapkan terjadi seketika di tahun 2010, hanya perbaikan kinerja konservatif sajalah yang agaknya bisa diharapkan. Capaian tingkat produksi dan penerimaan Negara yang akan relatif sama, kenaikan nilai investasi untuk kegiatan produksi dalam kisaran 10-20%, namun masih tetap dengan minimnya penemuan cadangan baru karena relatif terpinggirkannya kegiatan eksplorasi, nampaknya akan menjadi gambaran umum kinerja perminyakan nasional di tahun 2010. Pemerintah semestinya segera berbenah dan bersiap untuk memanfaatkan secara maksimal faktor fundamental positif yang sesungguhnya sangat berpotensi akan disediakan pasar. Sambil tentunya tak boleh lengah karena pasar pun bisa sangat tidak bersahabat . Dalam konteks ini, dibukanya keran investasi perminyakan di Irak secara luas dengan target untuk memproduksikan minyak hingga 12-13 juta barel per hari – bukan tidak mungkin menjadi batu sandungan karena dapat mendorong para KKKS yang beroperasi di tanah air untuk mengalihkan portofolio investasinya disana. Semoga pemerintah kita dapat secara bijak dan tepat menyikapinya.

 

Manajemen pasok gas RI tak direncanakan konkret

Bisnis Indonesia13 April 2010

JAKARTA : Manajemen pasokan gas nasional dinilai tidak diupayakan dengan rencana strategis yang konkret dan dapat dioperasionalkan, sehingga memicu terjadinya krisis pasokan di tengah ledakan permintaan konsumen domestik.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan absennya rencana strategis pasokan gas bumi nasional tersebut terjadi untuk jangka pendek maupun panjang. Dia mencontohkan dalam mengatasi krisis gas saat ini pemerintah dan pemangku kebijakan justru belum membuat ketetapan atas sumber-sumber gas yang sudah terbukti, yang sebenarnya bisa dialokasikan untuk domestik.

Seperti gas Cepu sebanyak 1,2 tcf 1,6 tcf [triliun kaki kubik] dan Tangguh 4 tcf lebih belum jelas. Padahal, seandainya gas Cepu bisa diproduksikan itu bisa untuk mengatasi krisis gas di Jawa karena infrastrukturnya sudah ada. Roadmap dan rencana kebijakan harga dan pengembangan infrastrukturnya juga tidak konkret. Pengembangan gas saat ini lebih banyak terjadi atas inisiatif dan rencana dari KKKS, katanya hari ini.

Kepala BP Migas R. Priyono sebelumnya mengatakan masalah gas nasional sebenarnya tidak semata-mata masalah penyediaan pasokan. Menurut dia, manajemen transportasi gas dan permintaan gas juga menjadi faktor penting untuk menjaga agar pasokan gas nasional terjaga dengan baik.

BP Migas, katanya, tengah mengkaji konsep manajemen pasokan gas Indonesia yang diharapkan tidak ada kendala untuk menerapkan DMO di sejumlah lapangan yang jauh dari pasar domestik, dan keekonomian lapangan marginal bisa diperbaiki dengan adanya alokasi impor .

Di sisi infrastruktur pengangkutan, tuturnya, upaya pengembangan infrastruktur baru seperti LNG receiving facilities perlu dipercepat sehingga LNG dari lapangan-lapangan gas besar dapat digunakan untuk keperluan domestik.

Selain itu, akses terhadap infrastruktur tersebut juga harus dipermudah dengan cara menerapkan tarif yang wajar, tetapi tetap memberikan keuntungan yang cukup ekonomis bagi investor sehingga dapat mendorong pengembangan investasi selanjutnya, jelasnya dalam siaran pers, hari ini.

Di sisi lain, Priyono mengatakan pertumbuhan kebutuhan yang semakin meningkat juga perlu diatur. Jika tidak, katanya, krisis pasokan akan terus terjadi di masa mendatang.

Di berbagai daerah terjadi kekurangan pasokan gas karena adanya demand yang tiba-tiba melonjak, lebih cepat dari pertumbuhan produksi, imbuhnya.(er)

‘Donggi bisa kehilangan momentum’ DPR minta pemerintah percepat pelaksanaan proyek

Bisnis Indonesia, 12 April 2010

JAKARTA: Keterlambatan persetujuan proyek gas Donggi-Senoro diyakini dapat mengakibatkan kehilangan momentum pasar liquefied natural gas (LNG) yang akan kelebihan pasokan pada 2013-2014.

Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rachmanto mengingatkan kelanjutan gas Donggi membutuhkan ketegasan dari pemerintah karena wacana implementasi proyek ini sudah terlalu lama.

Jika proyek ini mengalami keterlambatan akibat lambannya persetujuan pemerintah, ujarnya, peluang untuk menjual dengan harga bagus bisa hilang karena kondisi pasar yang jenuh.

“Perlu dicermati pada 2013-2014, Qatar, Kuwait dan Australia misalnya, sudah on stream. Kalau sampai kehilangan momentum. Bukan saja harga bisa turun tetapi malah bisa-bisa kita nggak dapat pembeli,” ujarnya kepada Bisnis kemarin.

Pri Agung mengingatkan perlunya dukungan pemerintah pusat dan daerah agar percepatan persetujuan bisa diperoleh untuk menghindari batalnya proyek. Di sisi lain, dia meminta pemerintah tidak terjebak dengan dikotomi urgensi alokasi ekspor dan domestik karena sikap ini justru akan menghambat kelanjutan proyek ini.

“Alokasi untuk domestik ok saja. Tapi mana receiving terminal-nya Sepanjang itu belum dibangun, pemerintah harus rasional karena masing-masing kilang punya karakteristik tersendiri.”

Sumber: Sumber, diolah

Seperti diketahui, pemerintah hingga kini belum mengeluarkan persetujuan resmi soal pengembangan proyek gas tersebut, kendati gas sales agreement telah diteken sejak 22 Januari 2009 oleh konsorsium Donggi-Senoro LNG, sebagai calon pemilik kilang LNG, dengan PT Pertamina (Persero) dan PT Medco Energi Internasional Tbk sebagai operator.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akhirnya menyerahkan nasib pengembangan proyek Donggi-Senoro, tersebut kepada Wakil Presiden Boediono, kendati ikut memberikan beberapa rekomendasi soal kelanjutan proyek tersebut.

Hingga pekan lalu Boediono mengatakan masih mengkaji dan akan segera mengambil keputusan terkait alokasi gas Donggi-Senoro di Banggai, Sulteng. Saat dikonfirmasi hingga kapan kajian berakhir, Staf Khusus Wapres Bidang Media Yopie Hidayat tidak membalas pesan singkat Bisnis.

Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky menegaskan percepatan pengembangan proyek gas dari Lapangan Donggi-Senoro sangat penting bagi negara karena selain menambah pasokan gas dalam negeri yang hingga kini defisit, juga akan memberikan multiplier effect bagi perekonomian nasional.

“Yang menjadi hambatan utama pengembangan proyek gas Donggi-Senoro saat ini adalah karena belum adanya keputusan soal alokasi dan persetujuan harga jual gas dari pemerintah. Kami meminta pemerintah segera memutuskannya sesuai dengan hasil kajian yang ada,” tuturnya.

Menurut dia, pemerintah tinggal memilih beberapa opsi yang tersedia agar proyek dapat berjalan dengan segala konsekuensinya. Artinya, setiap pilihan tersebut bukan hanya berdampak terhadap besaran penerimaan negara, tetapi juga pada aspek pendanaan pengembangan proyek.

Dia mengingatkan investasi proyek Donggi-Senoro, baik di up stream maupun down stream diperkirakan mencapai hampir US$4 miliar.

“Proyek ini [Donggi-Senoro] bisa menciptakan lapangan kerja baru kalau jalan. Selain itu, usaha penunjang lainnya juga bisa berkembang sehingga sumber penerimaan daerah dan nasional juga bertambah,” tutur Riefky.

Dari Bandung, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menuturkan pada prinsipnya kepentingan nasional menjadi prioritas dalam menerapkan kebijakan energi apa pun, termasuk dalam hal keputusan mengenai alokasi gas dari Donggi-Senoro.

Untuk itu, pemerintah tengah mempersiapkan infrastruktur penampung gas sebagai sarana distribusi gas cair dari ladang tersebut ke sentra industri di kawasan Jawa dan Sumatra.

“Artinya kepentingan jangka pendek untuk industri tidak mungkin disuplai dari sana,” jelas dia dalam workshop forum wartawan keuangan dan moneter.

Peta produksi

Hatta mengatakan persaingan penjualan gas di tingkat internasional juga perlu menjadi perhatian sambil mulai memetakan kemampuan produksi di Tanah Air. Semua itu akan menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk memilih sejumlah opsi terkait kebijakan eksplorasi dan alokasi gas di Donggi-Senoro.

“Pada 2014 pasar gas dunia akan dibanjiri pasokan dari berbagai negara. Seperti apakah kapasitas dari Qatar, bagaimana kemampuan produksi dari Papua Nugini. Jadi persaingan penjualan gas di 2014 juga harus diperhatikan,” ucapnya.

Lebih jauh Hatta menjelaskan dengan ditemukannya ladang minyak dan gas yang tersebar dan menjauh dari pusat pertumbuhan ekonomi, kebijakan alternatif menjadi suatu hal yang wajar untuk bisa dipertimbangkan.

Akan tetapi, ketersediaan LNG receiving terminal di Jawa dan Sumatra menjadi hal mutlak yang harus dipersiapkan pada 2011 guna menjamin ketahanan energi Tanah Air.

Mantan Dirut PT Perusahaan Gas Negara Tbk Abdul Qoyum Tjandranegara menilai tertundanya proyek Donggi-Senoro ini disebabkan oleh kepentingan pemerintah yang ingin mengalokasikan jatah gas untuk ekspor.

Padahal ujar dia, sudah semestinya gas Donggi itu dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri sekalipun dengan harga yang lebih rendah.

Jika konsumen dalam negeri tidak bisa membeli dengan harga ekspor, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memberi subsidi dan bukan malah menjual ke luar.