Harga Keekonomian Diterapkan 2014

Kompas, 23 Maret 2010A�

Jakarta,A�Pemerintah berencana menetapkan harga energi, baik bahan bakar minyak maupun listrik, sesuai harga keekonomian pada 2014. Hal ini akan dilakukan dengan mengubah pola subsidi pada harga menjadi subsidi langsung bagi golongan tak mampu. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh menyampaikan hal itu seusai menghadiri pelantikan pejabat eselon II Kementerian ESDM, Senin (22/3) di Jakarta.

Ia menjelaskan, harga BBM dan tarif listrik bersubsidi diharapkan mencapai harga keekonomian pada 2014-2015. Kami berharap nantinya sampai pada pemahaman dan praktik bersama tentang harga keekonomian. Itu rencananya, ujarnya. Saat ini pemerintah masih merumuskan bagaimana cara mendidik masyarakat, termasuk yang tidak mampu, untuk memahami harga keekonomian listrik agar lebih efisien. Kalau harga terlalu mahal, rakyat akan berhemat. Jadi, itu yang perlu dididik. Kami perlu mengubah pola subsidi pada harga menjadi subsidi pada golongan tak mampu, ujar Darwin.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto menyatakan, struktur tarif listrik memang harus dibenahi. Namun, pemerintah mesti konsisten dengan rencana-rencana efisiensi kelistrikan yang telah dikemukakan. Masalahnya pada pengalihan pemakaian BBM dengan gas pada pembangkit-pembangkit listrik tenaga gas dan uap yang ada. Ini, kalau dijalankan, bisa mengurangi subsidi listrik hingga 50 persen.

Dengan itu, struktur biaya penyediaan juga turun. Baru setelah itu bicara kenaikan tarif dasar listrik (TDL), ujarnya. Terkait rencana kenaikan TDL pada Juli nanti, pemerintah baru mengadakan simulasi agar kenaikan tarif itu dapat dipikul masyarakat. Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah. Itu pun masih dikomunikasikan dengan wakil rakyat (DPR), tutur Darwin.

Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian ESDM J Purwono menjelaskan, kini pemerintah sedang menghitung besaran kenaikan TDL. Tiap golongan berbeda-beda besaran kenaikannya karena daya belinya juga berbeda, ujarnya. Kenaikan TDL pada Juli nanti tidak boleh lebih berat dari saat kenaikan tarif listrik pada 2003.

Kenaikan TDL golongan pelanggan 900 volt ampere ke bawah diperkirakan di bawah 15 persen dan kenaikan tarif listrik bagi kelompok pelanggan besar bisa lebih dari 15 persen. Kompensasi atas kenaikan TDL masih dirumuskan agar bermanfaat bagi pelanggan, tetapi tidak merugikan negara. Adapun konsep bantuan langsung tunai listrik baru direalisasikan kalau bentuk subsidi berubah dari harga jadi subsidi langsung. (EVY)

Kebijakan Migas Tidak Tegas Penyebab Defisit Gas

Media Indonesia, 22 Maret 2010

JAKARTA MI:A�Ketidakjelasan alokasi produksi gas dinilai menjadi faktor utama yang membuat defisit pasokan gas industri nasional saat ini. Di saat bersamaan, pemerintah terkesan lamban dalam mengambil keputusan terkait orientasi potensi gas yang ada seperti dalam memutuskan peruntukkan gas proyek Donggi Senoro, Sulawesi Tengah, serta tidak terbuka dengan hasil renegosiasi harga jual gas Tangguh, Papua, ke Fujian China.

Bahkan di saat darurat, manakala PT Perusahaan Gas Negara (persero) Tbk harus memangkas 20% pasokan untuk industri manufaktur dan menghentikan 25% pasokan gas untu PLTGU Muara Tawar, solusi yang diberikan pemerintah dalam rakor gas (Jumat, 19/3) lalu) bersifat jangka pendek dan masih jauh dari kebutuhan.

Selain hanya memberi tambahan pasokan 70 MMSCFD (23,33%) dari seluruh defisit nasional yang mencapai 300 juta metric standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD), solusi tersebut juga hanya bersifat sesaat karena tidak adanya jaminan kelangsungan pasokan.

Dari total tambahan pasokan 50 MMSCFD, 20 MMSCFD hanya akan dipasok oleh PT Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java (ONWJ) untuk 3 bulan saja, dari April hingga Juni mendatang. Jadi tinggal mengandalkan pasokan dari Lapangan Singa Blok Lematang Sumatera Selatan Milik Medco EP sebanyak 50 MMSCFD (40 MMSCFD menurut konfirmasi dari pihak Medco).

Sementara pasokan 295 dari ConocoPhillips (sesuai kontrak dengan PGN) masih akan dibicarakan sehingga belum bisa dipastikan terpenuhi seluruhnya, akibat adanya alokasi hingga 100 MMSCFD untuk keperluan produksi minyak Chevron di Duri, Riau.

Hal seperti itu terjadi karena sinergi antar BUMN dan pemerintah masih lemah. Akibat salah kelola, antara hulu dan hilir berjalan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi, ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, kepada Media Indonesia, Minggu (21/3).

Menurut Pri Agung, upaya penanggulangan sesaat seperti itu juga turut menunjukkan masing-masing pihak menunjukkan ego institusi yang muncul karena pemerintah tidak tegas menerapkan kebijakan yang menyelaraskan program antar BUMN itu. Mestinya fungsi pemerintah untuk mengarahkan dan menjembatani antar BUMN yang memproduksi migas (hulu) dengan BUMN yang mendistribusikan dan menjual migas (hilir) itu harus jalan. Paling tidak antar BUMN yang berada di bawah kementerian ESDM harus bisa bersinergi dalam program-programnya, tutur Pri Agung.

Dalam pandangan pengamat energi, Kurtubi, defisit seperti ini akibat dari tidak adanya ketegasan pemerintah dalam tata kelola sektor migas nasional. Sekian lama Indonesia mengekspor gas namun hingga kini belum memiliki infrastuktur penerima dan pengubah gas alam cair (storage and regasification liuid natural gas/ LNG).

Ini ironis karena justru menjadi penyebab kebutuhan domestik tidak bisa terpenihi, defisit terus. Kita hanya punya kilang untuk produksi LNG yang semuanya diekspor, ujar Kurtubi.

Padahal imbuhnya, kalau ada terminal penerima dan pengubah LNG tersebut, dalam kondisi seperti ini, gas alam bisa diambil dari Kilang Badak di Bontang, Kalimantan Timur atau Kilang Tangguh di Papua. Daripada menunggu proses renegosiasi harga jual LNG Tangguh ke Fujian China yang hingga kini tidak ada kabar beritanya, lebih baik gas dari sana dipakai untuk kebutuhan dalam negeri. Namun apa daya kalau tidak ada kilang penerimanya , ujar Kurtubi.

Karena itu, kondisi defisit ini, imbuh Kurtubi, akan terus berlangsung sampai fasilitas terminal terapung penyimpan dan pengolah LNG (floating storage and regasification terminal/FSRT) milik Pertamina dan PGN di Teluk Jakarta, bisa beroperasi menjelang akhir 2011. Untuk saat ini, kondisi megap-megap gas bakal terus berlangsung, tukasnya.

Kalaupun nanti fasilitas tersebut sudah beroperasi, ia berharap pemerintah tidak serta merta berorientasi impor LNG dengan alasan gas alam yang ada sudah terikat komitmen ekspor. Alihkan saja gas dari Tangguh yang renegosiasinya tidak jelas itu untuk kebutuhan domestic. Masa kita rela menjual gas hanya US$3,35 per juta metric british thermal unit (MMBTU) sementara konsumen di dalam negeri harus membeli di atas kisaran US$5 per MMBTU. Lebih baik kita putus kontrak dengan resiko diarbitrasekan, paling kena denda, namun kita mampu memenuhi kebutuhan domestic sehingga pertumbuhan ekonomi nasional tidak terganggu gara-gara defisit gas, ujarnya.

Dengan alokasi gas dari Tangguh ini saja, kebutuhan gas nasional untuk pabrik pupuk, pembangkit listrik dan industri akan terpenuhi setiap tahunnya. Untuk penghasil devisa biarkkan LNG dari Kilang Bontang yang diekspor karena harganya bagus di kisaran US$13 per MMBTU. Atau bisa juga gas dari Donggi Senoro, namun tetap dengan catatan haarganya minimal harus menyamai LNG dari Kilang Bontang dan alokasikan kewajiban pasok domestic (domestic market obligation/DMO) antara 25%-30%, papar Kurtubi.

Karena itu, ia berharap pemerintah segera memutuskan peruntukkan gas Donggi Senoro termasuk juga menunjuk operator untuk Kilang LNG di ladang gas Sulawesi tengah itu. Kalau mau memaksimalkan keuntungan dan ingin membesarkan perusahaan migas nasional, seharusnya Pertamina yang menjaadi operator disana. Kalaupun mau diekspor seluruhnya, bisa saja. Untuk kewajiban pasokan domestiknya bisa menggunakan mekanisme pasokan silang (swap) dari LNG Tangguh, pungkas Kurtubi. (Jaz/OL-7)

Pemerintah Perlu Proaktif Hak Beli Saham Tambang

Bisnis Indonesis.com, 22 Maret 2010

JAKARTA:A�Pemerintah diimbau lebih proaktif dalam menjalankan hak pembelian saham yang didivestasi pemodal asing pertambangan sebagaimana diatur PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara agar tujuan divestasi untuk peningkatan kapasitas nasional bisa tercapai. Direktur Eksekutif Reforminer Institut Pri Agung Rakhmanto mengatakan pelimpahan hak pembelian saham kepada pihak di luar pemerintah, pusat ataupun daerah baik secara langsung ataupun melalui badan usahanya terbukti menyebabkan divestasi itu gagal meningkatkan peran nasional. Apabila saham itu jatuh ke tangan swasta, tuturnya, dengan sendirinya pemerintah atas nama negara tidak lagi memiliki kendali atas kepemilikan saham tersebut selanjutnya.

Dalam kontrak karya [KK] sebelumnya, hanya mengatur mengenai besaran saham yang didivestasi. Setelah saham itu dikendalikan oleh pihak lain, dan kebetulan itu swasta, mau kemana pihak swasta itu menjual sahamnya sudah bukan lagi wewenang pemerintah untuk mengatur, katanya hari ini. Pri Agung mencontohkan divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) telah sukses mengalihkan 24% saham milik Newmont Indonesia Ltd dan Nusa Tenggara Mining Corp kepada peserta Indonesia, yaitu PT Multi Daerah Bersaing, yang merupakan perusahaan patungan antara Multicapital dan PT Daerah Maju Bersaing.

Tahun ini, merupakan akhir dari proses divestasi yang tinggal menyisakan 7% dari 31% kewajiban yang tersisa. Seperti diketahui, sebelum proses divestasi dimulai 2006, 20% saham NNT telah dikuasai oleh PT Pukuafu Indah. Namun, sejak Desember tahun lalu Pukuafu kehilangan kendali atas saham-sahamnya hingga 2019 setelah perusahaan menggadaikannya kepada NIL dan NVL, anak perusahaan Newmont Mining Corp lainnya, untuk mendapatkan pinjaman sebesar US$287 juta. Utang tersebut digunakan perusahaan untuk melunasi pembayaran obligasi yang jatuh tempo.

Obligasi itu sendiri semula diterbitkan Pukuafu untuk melunasi utangnya kepada Newmont, yang dibuat perusahaan untuk penyertaan modal pengembangan Batu Hijau. Dalam laporan keuangan terakhirnya, Newmont Mining Corp telah mendeklarasikan penguasaan hak ekonomi (saham) atas Batu Hijau sebesar 52,44%. Padahal, sebelum proses divestasi saham berlangsung pada 2006, Newmont dan NTMC masing-masing hanya menguasai 45% dan 35%. Itulah mengapa sikap proaktif pemerintah diperlukan agar tidak lagi terjadi hal semacam ini. Tujuan divestasi menjadi tidak tercapai karena saham itu akhirnya kembali dikuasai pemodal asing, katanya. Divestasi saham kini diatur dalam UU No.4/2009 tentang Mineral dan Batu bara yaitu pasal 112 ayat 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.23/2010 Pasal 97 ayat 1, pemegang Ijin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Pertambangan Khusus wajib mendivestasikan sedikitnya 20% kepada peserta Indonesia setelah 5 tahun berproduksi dengan tahapan, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.

Direktur Eksekutif IMA Priyo Pribadi Soemarno sebelumnya mengusulkan agar saham divestasi bisa dilepas melalui pasar modal untuk mengantisipasi gagalnya divestasi bila pihak nasional tidak mampu membeli saham yang ditawarkan. Opsi itu merupakan yang terakhir untuk mengantisipasi kegagalan proses divestasi saham pemodal asing. Namun, berdasarkan PP No. 23/2010 pasal 97 ayat 11 disebutkan apabila divestasi tidak tercapai, penawaran saham bisa dilakukan pada tahun berikutnya berdasarkan mekanisme ketentuan yang tertera dalam PP tersebut. PP tersebut tidak mengatur mengenai sampai berapa tahun proses divestasi itu dibatasi. (mrp)

Realisasi Rencana Lepas Harga Energi 2014 Sulit

Bisnis Indonesia.com, 22 Maret 2010

Rencana pemerintah untuk melepas harga energi pada keekonomiannya di 2014 sulit direalisasikan tanpa adanya sikap konsisten dari pemerintah sendiri. Direktur Eksekutif Reforminer Institut Pri Agung Rakhmanto mengatakan 2014 merupakan tahun politik, dan semua pihak yang berkepentingan akan berupaya memanfaatkan isu tersebut untuk meraih dukungan. Di sisi lain, tuturnya, pemerintah sebenarnya telah membuat cetak biru rencana pencabutan subsidi pada 2010, yang merupakan perubahan dari Renstra 2000-2004.

Nyatanya hingga saat ini rencana itu tidak bisa direalisasikan karena berbagai alasan. Intinya sebenarnya kembali pada konsistensi pemerintah juga, katanya hari ini.

Pri Agung mengatakan dalam kebijakan mengenai harga energi hendaknya tidak dipolitisasi. Pemerintah, katanya, seharusnya juga menyiapkan mekanisme yang jelas dan tertata. Mencabut subsisi BBM-listrik, juga harus diimbangi road map-nya bagaimana, termasuk di sana juga memperhatikan bagaimana pengelolaan kompensasi untuk kalangan terdampak dari kebijakan tersebut. Itu harus dibuat setiap tahun.

Selain itu, lanjutnya, rencana kebijakan pelepasan subsidi harga energi sulit diimplementasikan bila tidak dikunci dalam Undang-Undang Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Dia mencontohkan penerapan tarif listrik multiguna terbaru dari PLN baru bisa dilaksanakan setelah dinyatakan secara tegas dalam UU APBN. Dengan disebutkan dalam UU, kedudukannya akan sangat kuat karena dalam prosesnya itu sudah melewati persidangan politik di DPR.

Untuk BBM sebenarnya juga sudah dinyatakan sejak 2008, yaitu dengan menetapkan batas toleransi harga minyak yang bisa menjadi patokan pemerintah untuk mulai menaikkan harga BBM, katanya.

Di sisi lain, Pri Agung menambahkan pemerintah seharusnya juga memiliki perencanaan yang jelas terkait dengan penggunaan dana subsidi yang berhasil dihemat. Selama ini, tuturnya, masyarakat tidak bisa menilai kebijakan penghematan subsidi yang dilakukan pemerintah sudah berhasil atau tidak, karena tidak adanya kejelasan mengenai peruntukan dana selanjutnya. Pemerintah selalu bilang dana yang berhasil dihemat masuk dalam APBN. Seharusnya pemerintah secara tegas mengatur peruntukannya, misalnya penghematan subsidi BBM tahun ini akan digunakan untuk mendanai infrastruktur ketenagalistrikan, kata dia. Dia juga mengatakan penerapan harga energi pada keekonomiannya bisa dilakukan secara lebih cepat dari 2014.

Namun, menurutnya, untuk melakukan hal itu pemerintah harus mempercepat efisiensi di masing-masing subsektor. Misalnya penggunaan bahan bakar gas pada pembangkit listrik untuk menggantikan BBM. Kalau sudah efisien, tidak terlalu berat kalau nanti harus dinaikkan ke tarif keekonomian, katanya.(er)

Subsidi BBM Akan Dibatasi

Kompas, 13 Maret 2010

Jakarta, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mengkaji rencana penerapan kebijakan pelarangan bagi pengguna mobil dengan klasifikasi tertentu memakai bahan bakar minyak bersubsidi. Tujuannya agar pemberian subsidi BBM lebih tepat sasaran. Menurut Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh di Jakarta, Jumat (12/3), kebijakan itu akan diambil karena belum tertibnya sebagian besar pengguna mobil yang sebetulnya tidak layak memakai BBM bersubsidi. Mobil pribadi dengan klasifikasi tertentu tidak pada tempatnya mendapat subsidi BBM. Kita semua tahu mobil mana saja yang tidak pantas, kata dia.

Saat ini pemerintah sedang merancang, melihat, dan menguji coba mekanisme pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi pengguna mobil jenis tertentu. Nantinya, mobil pribadi dengan klasifikasi tertentu akan menggunakan BBM dengan harga keekonomian. Kita ingin BBM tidak menjadi barang langka, ujarnya. Klasifikasi mobil mewah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto menilai positif rancangan kebijakan pemerintah itu.

Akan tetapi, pengklasifikasian mobil mewah atau tidak juga harus jelas, rasional, dan adil, apakah berdasarkan besarnya CC mobil itu, harga, tahun pembuatan, atau kombinasinya. Pengklasifikasian itu harus dirumuskan dulu, lalu disimulasikan berapa penghematan subsidinya dengan berbagai skenario. Semestinya pelarangan penggunaan BBM bersubsidi itu dimulai dari mobil-mobil dinas pejabat pemerintah, katanya. Terkait harga BBM, menurut Darwin, pemerintah berupaya agar harga BBM tahun ini tidak naik, kecuali terpaksa. Hasil pemantauan dan evaluasi perkembangan harga minyak mentah dan harga produk BBM di pasar dunia dalam satu bulan terakhir menunjukkan laju peningkatan signifikan.

Meski demikian, pemerintah memutuskan, terhitung 15 Maret 2010, harga jual eceran BBM jenis minyak tanah, premium, dan minyak solar untuk keperluan rumah tangga, usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum tidak berubah. Hal ini dengan mempertimbangkan kondisi perkembangan harga minyak masih berfluktuasi, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, dan pembahasan APBN Perubahan 2010. Jadi, harga BBM jenis tertentu tetap mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2009 tentang harga jual eceran BBM jenis minyak tanah, bensin premium, dan minyak solar. Dengan rincian, harga bensin premium Rp 4.500 per liter, minyak solar Rp 4.500 per liter, dan minyak tanah Rp 2.500 per liter. (EVY)

Harga BBM Tak Akan Dinaikkan

Kompas, Jumat, 12 Maret 2010

Jakarta, Pada tahun ini pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak. Syaratnya, asumsi harga jual minyak, nilai tukar rupiah, dan volume konsumsi BBM sesuai dengan rencana dalam Rancangan APBN Perubahan atau RAPBN-P 2010. Namun, pemerintah mengusulkan agar harga BBM dapat dinaikkan jika harga jual minyak mentah Indonesia melonjak 10 persen dari asumsi dalam APBN-P 2010, yakni 77 dollar AS per barrel. Sepanjang semua asumsi itu berjalan, BBM tidak akan naik. Jadi, masyarakat harap tetap tenang dan saya akan mengelola APBN secara prudent (hati-hati), ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Kamis (11/3).

Dalam Rancangan Undang-Undang APBN-P 2010 disebutkan adanya perubahan Pasal 7 Ayat 3, yakni dalam hal perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) dalam satu tahun melonjak lebih dari 10 persen dari harga yang diasumsikan APBN-P 2010, pemerintah diberi kewenangan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi. Ini artinya, batas atas ICP yang memungkinkan harga BBM tidak naik adalah 84,7 dollar AS per barrel.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu juga menyatakan bahwa APBN 2010 diperkirakan akan tetap aman hingga harga minyak mentah Indonesia naik ke level 85 dollar AS per barrel. Jika rata-rata harga jual minyak mentah Indonesia atau ICP lebih tinggi 1 dollar AS per barrel dari angka yang diasumsikan, tambahan defisit pada APBN 2010 diperkirakan akan berada pada kisaran Rp 0 triliun hingga Rp 0,1 triliun. Dengan demikian, jika ICP bertahan pada level 85 dollar AS per barrel sepanjang tahun 2010, defisit APBN 2010 akan melonjak sekitar Rp 1,5 triliun. Belum pasti Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto mengatakan, kemungkinan naiknya harga minyak ke level 85 dollar AS per barrel masih belum pasti. Di satu sisi, harga minyak cenderung naik karena pulihnya perekonomian dunia.

Namun, di sisi lain, secara fundamental, hal itu tidak akan menyebabkan kurangnya pasokan karena kapasitas OPEC masih besar, yakni sekitar 4-6 juta barrel per hari. Cadangan OPEC itu sewaktu-waktu akan dilepas ke pasar sehingga, kalaupun ekonomi global pulih, kenaikan harganya tidak akan terlalu jauh dari kisaran 80-85 dollar AS per barrel. Masih bergantung pada respons OPEC juga nantinya, ujarnya. Sementara itu, ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan, melihat kecenderungan harga minyak dalam puluhan tahun terakhir, harga minyak akan bergerak di kisaran 60-80 dollar AS per barrel. (OIN)

14 Kontraktor di Atas Target Produksi

Kompas, Senin, 8 Maret 2010

Jakarta – Sebanyak 14 kontraktor kontrak kerja sama melampaui target produksi yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2009. Pencapaian produksi minyak ini diharapkan dapat terus ditingkatkan sehingga target produksi minyak yang ditetapkan dalam APBN 2010 sebesar 965.000 barrel minyak per hari diharapkan bisa tercapai.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono, Minggu (7/3), di Jakarta menyatakan, status produksi migas per 28 Februari 2010 sebesar 961.964 barrel minyak, termasuk kondesat 148.762 barrel minyak per hari. Potensi produksi 974.000 barrel per hari, katanya.

Untuk mencapai target produksi, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edy Hermantoro menyatakan, pemerintah berupaya mengurangi gangguan teknis seperti penghentian produksi akibat kejadian tidak terencana, mempercepat izin eksplorasi dan eksploitasi, serta mempermudah proses pembebasan lahan.

Produksi minyak per Februari rata-rata 959.186 barrel per hari, sedangkan rata-rata produksi minyak 2010 sebesar 951.214 barrel per hari. Sejumlah kontraktor mengalami penurunan produksi karena kendala teknis. Untuk Kodeco, misalnya, produksi turun karena terjadi sludge flow (aliran lumpur) sehingga tekanan tinggi, ujar Priyono.

Namun, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto justru memperkirakan produksi minyak nasional tahun ini di bawah target dalam APBN 2010, yakni 965.000 barrel per hari.

Produksi tetap di bawah target, kisaran 950.000 barrel per hari. Per akhir tahun bahkan bisa lebih rendah, yaitu 945.000 barrel, katanya.

Kondisi ini terjadi karena tidak ada penemuan lapangan baru dan tidak ada lapangan besar lain selain Blok Cepu sehingga tidak akan menutup rasio penurunan produksi secara alamiah. Target produksi minyak nasional 965.000 barrel itu tidak realistis. Tahun lalu, dengan produksi minyak nasional pun tidak mencapai target, ujarnya.

Untuk mempertahankan produksi minyak, menurut Pri Agung, optimalisasi produksi di level teknis perlu dilakukan, disertai upaya mempercepat birokrasi, sehingga produksi minyak bisa sesuai rencana. Agar produksi meningkat signifikan, fondasinya harus sudah diletakkan. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Migas (UU Nomor 22 Tahun 2001), ujarnya.

Di hulu migas, keberadaan BP Migas yang bukan entitas bisnis membuat iklim bisnis atau kemitraan tidak terbentuk. Jadi, kontraktor bukan mitra, melainkan pihak yang diawasi. Peningkatan produksi itu bisa dilakukan dengan investasi. Kalau pemerintah tidak membuat kesepakatan bisnis untuk investasi, maka itu sulit dilaksanakan, katanya. (evy)

Rekomendasi Pansus BBM; Pemerintah Belum Dapat ‘Celah’ Revisi UU Migas

detikFinance, 4 Maret 2010

Jakarta – Revisi Undang-undang UU Migas No.22 tahun 2001 sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2010. Namun hingga kini pemerintah masih belum menemukan hal-hal apa yang perlu direvisi dari UU tersebut.

“Revisi UU Migas adalah salah satu dari permintaan pansus hak angket BBM. Kami sudah mencoba mempelajari, tapi belum menemukan yang perlu direvisi. Karena UU ini setidaknya sudah dua kali masuk Mahkamah Konstitusi dan direvisi,” ujar Direktur Jenderal Migas Evita Legowo kepada detikFinance, Rabu (3/3/2010).

Namun, Evita menyatakan pihaknya tetap akan menyiapkan konsep-konsep terkait rencana revisi UU yang penuh kontroversi ini.

Berbeda dengan Evita, Direktur Eksekutif Refor-Miner, Pri Agung Rakhmanto justru menilai revisi UU Migas ini sangat mendesak untuk dilakukan. Menurut dia, salah satu hal yang perlu ditinjau ulang yaitu mengenai posisi BP Migas sebagai kuasa pertambangan migas di sisi hulu.

Ia menilai dengan posisi BP Migas sebagai perwakilan pemerintah dalam pengawasan kegiatan yang dilakukan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) telah membuat seluruh proses di sektor hulu Migas harus melalui birokrasi yang berbelit-belit.

“Itu yang menyebabkan kenapa rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) yang diajukan KKKS penyelesaiannya butuh waktu sampai berbulan-bulan dan alasan kenapa aktivitas produksi menurun,” ungkap Pri Agung.

Menurutnya, akan lebih baik jika peran kuasa pertambangan hulu migas dikembalikan lagi ke PT Pertamina (Persero). Hal inipun sudah diterapkan di negara-negara lain seperti Malaysia, Iran, Arab, Brazil dan Venezuela, yang sudah menyerahkan kuasa pertambangan migasnya ke perusahaan migas mereka.

Dengan dikembalikannya peran BP Migas ke Pertamina, lanjut Pri Agung, maka akan terjalin kerjasama yang baik antara BUMN Migas tersebut dengan KKKS sehingga tercipta suasana bisnis yang sehat dan membangun iklim investasi.

Lagipula, tambah dia, jika peranan BP Migas telah digantikan Pertamina dan ada masalah hukum antara Pertamina dan salah satu KKKS tersebut, maka itu akan diselesaikan secara bisnis dan tidak perlu melibatkan pemerintah.

“Jadi sebaiknya posisi BP Migas ini ditinjau kembali, terserah apakah BP Migas akan dijadikan badan usaha atau peranan BP Migas dikembalikan lagi ke Pertamina. Tapi menurut saya logisnya sih diserahkan kembali ke Pertamina seperti negara-negara lain,” paparnya.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR, Satya W Yudha menyatakan saat ini usulan revisi UU Migas tersebut sudah masuk di Badan Legislatif (Baleg) DPR. Setelah masalah kasus Century selesai, rencananya revisi UU ini akan didorong agar segera masuk ke Badan Musyawarah (Bamus).

“Saya sebagai anggota Bamus akan medorong itu agar segera masuk ke Bamus. Kita akan inventarisasi apa-apa saja yang akan diperbaiki,” pungkasnya.

Target Lifting Tidak Masuk Akal, UU KLH Jadi Kambing Hitam

Okezone, 28 Februari 2010

Polemik tentang pemberlakuan Undang-Undang Kementerian Lingkungan Hidup (UU KLH) No. 32 Tahun 2009 yang dapat menyebabkan produksi minyak nasional akan terpangkas 40 persen, semestinya tidak perlu dilontarkan dulu ke publik sehingga menimbulkan kepanikan akan berkurangnya produksi dalam negeri.

Pasalnya, meskipun UU tersebut sudah keluar namun belum ada Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur secara teknis pemberlakuan aturan tersebut. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto menyatakan berhembusnya wacana yang menyebabkan kepanikan tersebut justru mencerminkan koordinasi yang tidak baik antar kementerian terkait.

PP atau Permen-nya itu kan belum keluar, semestinya jangan dilontarkan dulu ke publik. Seharusnya bisa diselesaikan secara internal, ini kan jadinya mencerminkan koordinasi yang tidak baik di Pemerintah ujarnya saat dihubungi okezone, di Jakarta, Minggu (28/2/2010).

Bahkan menurutnya, wacana yang pengurangan produksi minyak akibat dari pemberlakuan UU tersebut hanyalah sebagai kambing hitam belaka. Pasalnya, sejak awal target lifting yang ditetapkan sebesar 965 barel per hari tidaklah realistis. Tahun 2009 lalu dengan target lifting sebesar 960 barel per hari tidak dapat terpenuhi dan hanya tercapai sekira 949 barel per hari.

Ini kan kesannya jadi sepeti mencari kambing hitam karena target lifting tidak pernah tercapai. Sejak awal saya menganggap target 965 barel per hari itu tidak realistis, tambahnya.

Meskipun demikian, dirinya memaklumi jika pemerintah Percaya Diri memasang target sebesar itu, dengan alasan untuk mengejar angka pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara yang tinggi. Selama ini, kepercayaan diri pemerintah adalah dengan adanya keyakinan produksi minyak dari Blok Cepu yang akan masuk sebesar 20 ribu barel per hari, padahal hingga saat ini kendala produksi di Blok Cepu yang belum optimal karena masih adanya permasalahan di off taker dalam hal ini belum siapnya PT Tri Wahana Universal (TWU) dalam menampung produksi dari blok Cepu tersebut.

Sebenarnya angka itu (965 bph) tidak masuk akal, tapi mungkin pemerintah ingin menggenjot target pertumbuhan ekonomi jadi kalau dipasang tinggi (lifting) maka asumsi penerimaan negara juga akan tinggi, bisa jadi politis, tandasnya.

Sebelumnya, Dirjen Migas Evita Legowo, menyatakan bahwa Produksi minyak dan gas bumi (migas) nasional terancam dengan adanya Undang-Undang KLH No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang akan mulai diberlakukan awal April 2010 nanti. Penerapan standar baku mutu lingkungan pada industri migas dikhawatirkan akan membuat target produksi migas nasional tidak tercapai. Produksi Migas pun diproyeksikan hanya akan tercapai setengah dari yang ditargetkan saja.

“Kalau standar baku mutu betul-betul diterapkan per April 2010 seperti apa adanya, hampir separuh target produksi migas nasional tidak dapat diproduksikan karena banyak industri migas dalam waktu dekat tidak dapat memenuhi standar baku mutu temperatur air dari 45 menjadi 40,” ujar Evita.

Pasalnya, untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan dalam waktu cepat.

Sementara itu, pemerintah belum akan mengubah target lifting minyak meskipun ada kekhawatiran karena pemberlakuan UU tersebut.

“Sekarang ini masih 965 ribu barel per hari, nanti akan APBN-P kita bicara dengan dewan,” ujar Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis lalu.

Menurutnya, terbitnya UU tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Namun hanya diperlukan sedikit harmonisasi antara Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

“Tentu tidak begitu, kita perlu harmonisasikan tapi tentu tidak tiba-tiba turun 40 persen. Jangan panik. Memang nanti itu kita perlu harmonisasi sedikit,” tandasnya.(adn)

Revisi ICP di APBN-P 2010 Terlalu Tinggi

Detik Finance, 28 Februari 2010

Revisi asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) yang terlalu tinggi dalam APBN-P 2010 dikhawatirkan hanya akan mendorong belanja pemerintah yang berlebihan.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Minggu (28/2/2010).

“Karena asumsinya kan penerimaan negara akan lebih besar, maka di belanjanya pun, misalnya belanja kementerian, akan menyesuaikan lebih besar juga karena belanja besar juga diyakini pemerintah akan lebih mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar dia.

Padahal, lanjut Pri Agung, dalam kondisi dimana pemerintah tidak siap dengan program yang bagus maka hal itu tidak akan terjadi dan justru akan jadi pemborosan saja.

Ia menyatakan jika pemerintah tidak ingin harga bahan bakar minyak (BBM) naik tahun ini, sebaiknya tidak dengan memasang asumsi ICP yang tinggi. Pemerintah disarankan untuk mengalokasikan cadangan Fiskal sebesar Rp 6-8 triliun.

“Lebih baik alokasikan cadangan fiskal saja, katakanlah Rp 6-8 triliun supaya APBN bisa tahan sampai harga minyak US$ 85 per barel,” jelasnya.

Pri Agung mengakui, harga minyak tahun ini memang cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Namun Ia memperkirakan harga minyak dunia akan tetap stabil di kisaran US$ 70-80 per barel karena secara fundamental tidak akan ada kekurangan pasokan.

“ICP US$ 77 per barel itu sedikit terlalu tinggi sepertinya. Dengan mematok ICP US$ 75 per barel menurut saya sudah cukup karena itu berarti rata-rata harga minyak dunianya sekitar US$ 80 per barel,” paparnya.

Untuk diketahui, pemerintah memang berencana untuk mengubah asumsi ICP dari US$ 65 per barel menjadi US$ 77 per barel serta menambah subsidi BBM sebesar Rp 20 triliun dalam usulan APBN-P 2010. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia.

Sementara itu, Mantan Gubernur OPEC Maizar Rahman memperkirakan harga minyak dunia tahun ini masih berkisar antara US$ 70-90 per barel dengan rata-rata US$ 75-80 per barel. Batas bawah US$ 70 per barel dikarenakan minyak non-konvensional seperti biofuel dan minyak dari pasir minyak di Kanada jumlahnya sudah cukup besar dalam suplai minyak dunia sedangkan ini hanya bisa berproduksi pada harga di atas tersebut.

“Bila harga di atas US$ 90 per barel, ini akan mendorong berkurangnya permintaan atau konsumsi sehingga harga akan tertekan lagi,” kata dia.

Ia menambahkan kenaikan harga saat ini masih dipicu faktor fundamental, yaitu pelemahan dollar karena Euro menguat dan adanya indikasi pemulihan ekonomi USA yang lebih baik. Secara fundamental suplai dan masih melimpah, bahkan di kwartal II akan lebih melimpah karena permintaan biasanya turun 1-2 juta barel per hari sehingga harga biasanya tidak naik pada kuartal tersebut.