Proyek Kilang LNG Senoro Perlu Diperjelas

Investor Daily, 22 Februari 2010

Pemerintah harus segera memutuskan kelanjutan proyek pembangunan kilag gas alam cair (fique fled natural gas/LNG) Donggi-Senoro di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng). Belum finalnya keputusan pemerintah terkait proyek tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi iklim investasi migas di Tanah Air. Semestinya, pemerintah bisa secepatnya memutuskan nasib proyek tersebut. Sebagai kategori proyek lama, seharusnya pemerintah bisa mengambil keputusan secara strategis dan taktis. Hal itu diutarakan anggota Komisi VII Dito Ganinduto dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto secara terpisah kepada Investor Daily Jakarta, Minggu (21/2).

Dito mengatakan, pemerintah harus segera memutuskan proyek Donggi-Senoro secara realistis dengan memperhatikan kebutuhan dalam negeri dan kepentingan investor (pemodal). Namun, pengembangan harus memperhatikan berbagai aspek, mulai dari sisi pasokan domestk hingga pihak yang akan membiayai proyek tersebut. Pengembangan gas memang berbeda dengan minyak bumi. Ketika gas akan dikembangkan, investor sudah harus meneken perjanjian jual-beli gas terlebih dahulu dengan pembeli. Tapi perbedaan tersebut bukan alasan untuk terlalu lama mengambil sebuah keputusan, ujarnya.

Pri Agung berpendapat, jangan karena alasan populis, pemerintah terkesan lama mengambil keputusan soal kelanjutan proyek Donggi-Senoro. Keputusan lanjut atau tidak juga harus disertai dengan alasan yang masuk akal. Begitu pula terkait alokasi gas apakah untuk domestik atau ekspor. Lambannya pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah sebagai hal yang tidak masuk akal, karena, pemerintah telah mengetahui kondisi proyek tersebut dari awal, jelasnya.

Terhambat Lahan Sementara itu, DPRD Sulteng mendesak Pemprov Sulteng dan Pemkab Banggai untuk membantu percepatan pembangunan kilang LNG Senoro yang kini terhambat masalah pembebasan lahan. Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sulteng Nawawi S Kilat mengatakan, salah satu upaya untuk mendorong percepatan proyek tersebut adalah koordinasi intensif baik antara pemprov dan pemkab, maupun dengan investornya, yaitu PT Donggi Senoro LNG (DSL).

Kami sangat menyayangkan jika pembangunan kilang LNG tersebut terhambat hanya karena kurangnya keterlibatan pemerintah daerah, padahal investasi pertambangan gas butuh anggaran yang tidak sedikit, ujar Nawawi seperti dikutip Antara di Palu, Sabtu (20/2).

Wakil Gubernur Sulteng Ahmad Yahya berjanji, pihaknya akan membantu menyelesaikan pembebasan lahan pembangunan kilang. Dari 350 hektare lahan yang dibebaskan, masih terdapat 3% lagi yang belum dilepaskan oleh pemiliknya. Menurut Nawawi, proyek LNG Senoro dinilai akan menghasilkan efek berganda (multiplier effect) tidak saja untuk kepentingan regional akan tetapi juga secara nasional. Proyek LNG Senoro saat ini tinggal terhambat pada pengembangan sektor hilir karena sektor hulu sudah siap sejak JOB Pertamina-Medco E&P Tomon Sulawesi selaku pemegang konsesi lahan telah melakukan eksplorasi. Saat ini sudah tendapat lima blok sumur yang siap disalun kan ke kilang.

Sebelumnya diberitakan, pemerintah Indonesia hingga kini belum memutuskan kelanjutan proyek Donggi-Senoro. Saat ini, nasib kelanjutan proyek tersebut masih berada di tangan Wakil Presiden (Wapres) Boediono. Proyek Donggi-Senoro digarap oleh konsorsium PT Donggi Senoro LNG (DSL) yang sahanmya dimiliki Mitsubishi Corp 51%, Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) 29%, dan PT Medco LNG Indonesia 20%. DSL akan memanfaatkan gas dari Lapangan Matindok (Donggi) sebesar 20 juta standar kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/mmscfd) milik PT Pertamina Hulu Energi dan Lapangan Senoro sebesar 50 mmscfd milik JOB Pertamina-Medco E&PTomori Sulawesi untuk diolah menjadi LNG. Proyek Donggi Senoro mulai dari hulu (upstream) hingga hilir (down stream) membutuhkan investasi sebesar USS 3,7 milyar Ini terdiri atas US$ 1,7 milyar untuk hulu dan US$2 miliar di hilir. Japan Bank for International Cooperation (JBIC) disebut-sebut berniat mendanai proyek kilang Senoro jika gas diekspor ke Jepang.

Hingga berita ini diturunkan, Investor Daly tidak bisa memperoleh konfirmasi dari Dirjen Migas Kementenian ESDM Evita Herawati Legowo, juru bicara PT Pertamina Basuki Trikora Putra, maupun Vice President LNG Business Pertamina Hari Karyuliarto. Telepon genggam ketiganya tidak diangkat ketika dihubungi.

Pajak Masuk Biaya Operasi KKKS

Bisnis Indonesia, 19 Februari 2010

Penetapan biaya pajak tidak langsung, termasuk pajak daerah dan retribusi daerah ke dalam biaya operasi KKKS yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery diyakini dapat menghapus masalah yang selama ini dihadapi kontraktor.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan rancangan peraturan pemerintah tentang cost recovery bisa memberikan keuntungan bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Kendati begitu, ada beberapa hal baru dalam RPP itu yang masih perlu diperdebatkan.

“Selama ini KKKS selalu dibuat pusing mengatasi masalah pajak tidak langsung dan retribusi daerah karena menjadi tanggungan KKKS. Dengan dimasukkan ke dalam biaya operasi, itu sepenuhnya bisa di cost recovery. Ini justru praktik yang benar dan sebenarnya sudah berlaku sebelum BP Migas ada,” jelasnya kemarin.

Cost recovery merupakan komponen biaya yang dapat dikembalikan kepada KKKS. Saat ini cost recovery terdiri atas pertama, non-capital cost, pengeluaran eskplorasi dan pengembangan, pengeluaran produksi, dan pengeluaran administrasi. Kedua, capital cost, yaitu depresiasi atas investasi aset KKKS. Ketiga, unrecovered cost, yaitu pengembalian atas biaya operasi tahun-tahun sebelumnya yang belum dapat diperoleh kembali.

Sebenarnya, lanjut Pri Agung, RPP Cost Recovery tersebut tidak perlu ada apabila sistem pengelolaan migas dalam skala lebih besar sudah benar penataannya. Sayangnya, munculnya BP Migas yang bukan entitas bisnis menjadikan seluruh urusan yang dahulunya mudah menjadi rumit. “Pemerintah dulu tinggal menarik pajak dari Pertamina dan KKKS tinggal menerima hasil berdasarkan kontrak bagi hasil yang ditetapkan dalam kontrak dengan Pertamina. Karena BP Migas yang menggantikan peran Pertamina bukan entitas bisnis, pemerintah tidak bisa menarik pajak dari BP Migas dan urusan fiskal KKKS langsung berhubungan dengan pemerintah,” katanya.

Dia mencontohkan kerumitan yang terjadi dalam hal bea masuk impor barang yang harus dibayar dulu setelah itu di-reimburse. “Itu rumit urusannya sampai ada pengaturan baru berupa peraturan menteri keuangan yang harus diperbaruhi setiap tahun.”

Minat investasi

Di sisi lain, lanjut Pri Agung, beberapa hal yang baru memang bisa mengurangi minat investasi. Beberapa hal itu meliputi masalah penetapan auditor fiskal dan teknis independen, penggunaan bank nasional sebagai penyedia jasa cash management, pengenaan pajak final terhadap proses farm in farm out dan uplift, pembatasan cost recovery, serta penetapan negative list cost recovery. “Memang ada dualisme dalam RPP Cost Recovery ini. Ada yang membantu investor, khususnya terkait dengan fiskal tetapi juga ada yang terkesan men-discourage. Namun, harus disadari pula hal yang membuat gamang investor adalah mengenai hukum apa yang mesti mereka pegang, kontrak atau RPP atau permen ESDM tentang cost recovery,” jelasnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani kemarin meyakinkan investor RPP Cost Recovery tidak untuk mengganggu iklim investasi. Menurut dia, RPP Cost Recovery tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan investasi di sektor minyak dan gas bumi. Selama ini, RPP Cost Recovery yang pembahasannya berlarut-larut menjadi isu yang terus menggelinding di antara pemangku kepentingan industri migas. Bahkan, Kementerian ESDM yang bertanggung jawab secara teknis terhadap industri migas sempat menjadikan polemik mengenai cost recovery tersebut sebagai penyebab dari ciutnya minat investor migas masuk ke Indonenesia, seperti yang terjadi pada tender dan penawaran langsung wilayah kerja migas periode 2008-2009.

Kepala BP Migas R. Priyono menolak berkomentar mengenai spirit RPP Cost Recovery yang diungkapkan Menteri Keuangan tersebut. ” No comment lah…” Sementara itu, Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo mengatakan RPP Cost Recovery memang untuk memberikan kepastian hukum bagi investor. Akan tetapi, dia tidak menjelaskan ketika ditanya apakah secara substansi RPP Cost Recovery tersebut bisa menumbuhkan minat investasi di sektor migas Indonesia. “Maksud Bu Menteri Keuangan untuk memberikan kepastian hukum,” tegasnya. (rudi.ariffianto@bisnis.co.id)

Produksi Blok Cepu Dipertanyakan

Republika, 8 Februari 2010

Peran Exxon Mobil sebagai operator Blok Cepu kembali disorot. Perusahaan multinasional asal Amerika Serikat yang menggarap Blok Cepu dengan menggunakan bendera Mobil Cepu Limited (MCL) dinilai belum memberikan kesejahteraan apa pun bagi warga di sekitar ladang minyak itu.

Bahkan, target produksi minyak yang diberikan kepada MCL juga tidak terpenuhi. ”Belum ada yang yang bisa kami nikmati,” kata Bupati Blora, Yudhi Sancoyo, berkeluh kesah kepada Wakil Presiden Boediono saat Temu Wicara dengan Muspida Jateng di Semarang, akhir pekan lalu.

Yudhi mempertanyakan produksi minyak di Blok Cepu yang tak kunjung mampu memenuhi target. Sesuai dengan joint operation agreement (JOA), MCL mestinya sudah menghasilkan minyak sebanyak 20 ribu barel per hari pada Desember 2009. Tapi, sebutnya, MCL baru sanggup memproduksi minyak sebesar 17 ribu barel per hari. ”Kami belum dapat bagi hasil,” keluhnya lagi.

Karena itu, Yudhi meminta Wapres turun tangan menyelesaikan produksi Blok Cepu yang masih seret. Tanpa campur tangan pemerintah, dia khawatir, produksi minyak yang sangat diharapkan masyarakat dan pemda Blora ini tetap tersendat. ”Produksi sudah telat setahun, tapi tidak ada perhatian serius,” katanya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, memahami keluhan yang dilontarkan Bupati Blora. Semakin lambat produksi minyak yang dilakukan di Blok Cepu, sambungnya, maka itu akan memperpanjang penantian rakyat untuk bisa menikmati hasil dari blok tersebut. ”Semakin lama produksi penuh tercapai, ya semakin lama juga daerah itu bisa ikut menikmati hasilnya,” jelasnya.

Pri Agung pesimistis MCL mampu menggenjot produksi minyak dalam tempo singkat. Dia bahkan tak terlalu heran melihat telatnya produksi blok ini. ”Memang sulit berharap karena memang sudah terlambat dari awal,” sesalnya.

Karena masih di masa awal produksi, pengamat migas ini mengatakan, bagi hasil yang diberikan ke pemda setempat memang masih sangat kecil. Dengan begitu, rakyat pun belum bisa menikmati hasilnya secara langsung. Kondisi ini akan terjadi selama tiga sampai empat tahun dari awal produksi. Sebagian besar bagi hasil akan habis digunakan untuk menutup biaya recovery .

Sementara, Kepala BP Migas, R Priyono, menyatakan pihaknya terus berupaya agar pemda segera mendapatkan bagi hasil. ”Kita sedang terus mengurus kenapa bagi hasil migas Blok Cepu kok belum didapat oleh Pemda,” katanya dalam pesan singkatnya kepada Republika .

Namun, Priyono membantah jika MCL tidak mampu memproduksi minyak sesuai target. Menurutnya, MCL sudah mampu memenuhinya. ”MCL sebetulnya mampu memproduksi sesuai target, tapi offtaker -nya (hilir) yang tidak bisa menyerap produksi MCL,” kilahnya.

Karena itu, Priyono kini sedang berkoordinasi dengan Ditjen Migas Kementerian ESDM untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dia tak bisa menuntaskannya seorang diri. ”Karena, Ditjen Migas yang mengurus hulu dan hilir,” jelasnya.

Anggota Komisi VII DPR RI, Satya W Yudha, menilai permasalahan di Blok Cepu ini harus dilihat secara komprehensif. ”Mulai dari hulu yaitu bagaimana Exxon menaikkan target produksinya dan hilir yaitu bagaimana kesiapan kilang sesuai kapasitas yang dijanjikan,” ujarnya.

Pada rapat dengar rendapat beberapa hari lalu, Satya mengatakan, BP Migas melaporkan permasalahannya terjadi karena PT TWU belum mampu menyerap minyak produksi MCL sesuai kapasitas yang dijanjikan. Sehingga, MCL tidak bisa menaikkan produksinya.

Adapun bagi hasil yang belum dirasakan oleh daerah ini bisa diusulkan agar diberikan pola pinjam hasil yaitu kontraktor(Pertamina, Exxon) memberikan hasil keuntungan profit split setelah dikurangi utang-utang, pajak, capital cost yang biasanya baru dinikmati setelah tahun ke tujuh untuk diberikan di depan dengan pola pinjam sehingga pihak daerah bia menikmati di awal-awal produksi.

Pemerintah Pilih DMO, Bukan Pengenaan Pajak Ekspor

Kompas, 6 Februari 2010

Jakarta, Kompas – Pemerintah menilai, pajak yang tinggi bagi ekspor batu bara bukan pilihan. Pemerintah lebih memilih mengoptimalkan kewajiban kontraktor memasok dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Batu bara yang wajib dipasarkan di dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 30 persen dari total produksi nasional.

Apakah kita harus menerapkan pajak ekspor batu bara Itu belum jadi keputusan saat ini. Yang penting kebijakan DMO. Jika nanti DMO tidak terpenuhi, baru kami pikirkan mekanisme lain, kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Jumat (5/2).

Hatta berpendapat, jika semua kontraktor mematuhi ketentuan DMO, tak perlu ada kekhawatiran bahwa pasokan batu bara untuk dalam negeri kurang. Namun, lanjut Hatta, seandainya DMO tidak dilaksanakan maksimal, pemerintah bisa menggunakan jatah dari bagi hasil batu bara sebesar 13 persen dari total produksi.

Jatah ini biasanya dikelola kontraktor batu bara dan disetorkan kepada pemerintah dalam bentuk dana tunai. Jika diperlukan, pemerintah bisa menggunakan jatah itu tanpa harus dikonversi ke uang, tetapi diberikan dalam bentuk batu bara, ujar Hatta. Tahun 2009 pemerintah menargetkan produksi batu bara nasional sebesar 250 juta ton. Dengan demikian, apabila DMO sebesar 30 persen, sekitar 75 juta ton batu bara per tahun yang wajib dipasarkan di dalam negeri, selebihnya bisa diekspor. Sementara bagian pemerintah pusat 13 persen dari produksi, yakni 32,5 juta ton per tahun. Bagian pemerintah ini yang, menurut Hatta, bisa untuk tambahan pasokan dalam negeri.

Pendekatan bisnis Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek meminta pemerintah pusat dan Badan Anggaran DPR mempertimbangkan pengenaan pungutan yang tinggi atas setiap batu bara yang diekspor. Awang menjelaskan, dari 95 persen batu bara dari Kaltim yang diekspor, hanya 5 persen untuk dalam negeri. Adapun yang kembali ke Kaltim hanya 1 persen. Akibatnya, Kaltim menderita kelangkaan pasokan listrik karena pembangkit listrik yang ada kekurangan bahan bakar batu bara.

Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto sepakat bahwa kebijakan yang paling tepat diterapkan adalah DMO yang menggunakan pendekatan bisnis. Artinya, pemerintah membeli batu bara DMO dengan harga pasar sehingga tidak memberatkan produsen. Pengenaan pajak ekspor yang terlalu tinggi akan menimbulkan disinsentif bagi produsen untuk berproduksi. Pajak ekspor menjadi makin tidak tepat jika pasar domestik tengah memasuki kondisi penurunan, lanjutnya. (OIN)

Target Produksi Naik; Manajemen Perminyakan Nasional Dinilai Gagal

Kompas, 5 Februari 2010

Target produksi minyak mentah siap jual atau lifting tahun 2014 sebanyak 1,01 juta barrel per hari. Ini lebih tinggi daripada realisasi lifting 2009 yang hanya 960.000 barrel per hari. Penetapan target itu tanpa memasukkan sumber minyak baru. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengungkapkan hal itu di Jakarta, Kamis (4/2), dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR.

Menanggapi target lifting tersebut, pada kesempatan terpisah, pengamat pertambangan Kurtubi menyatakan, hal itu mencerminkan kegagalan manajemen perminyakan nasional dan pesimisme yang merugikan negara. Peluang berproduksi di atas 1,4 juta barrel per hari sebenarnya masih terbuka lebar.

Menurut Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas Umiyatun Hayati Triastuti, target lifting 2014 ditetapkan berdasarkan data yang dihimpun dari setiap kontraktor. Ini memang belum memperhitungkan eksplorasi atau eksploitasi baru. Sebab, eksplorasi baru butuh waktu cukup lama, ujarnya.

Untuk meningkatkan produksi minyak, kata Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan, Pertamina akan menambah cadangan baru minyak dan gas bumi selain mengoptimalkan pemanfaatan blok migas yang dikelola sendiri oleh Pertamina maupun bersama mitra usaha. Kurtubi menegaskan, jika manajemen perminyakan nasional dibenahi dengan mengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, target 1,4 juta barrel per hari bisa tercapai sekarang. Dia menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir, industri perminyakan nasional terpuruk karena salah kelola.

UU Migas menyebabkan investasi eksplorasi anjlok karena prosedur berbelit-belit akibat kehadiran BP Migas dan ada Pasal 31 yang mewajibkan kontraktor membayar pajak meski belum berproduksi, katanya. Tahun 2005, lanjut Kurtubi, produksi minyak 1,5 juta barrel per hari. Saat ini produksinya hanya 960.000 barrel per hari sehingga Indonesia harus keluar dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto berpendapat, target 1,01 juta barrel per hari pada 2014 adalah target konservatif. Ini mencerminkan, andalan utama pemerintah adalah produksi Blok Cepu yang jika sesuai dengan jadwal mencapai puncak produksi pada 2014 sebesar 165.000 barrel per hari.

Sepertinya tidak ada upaya terobosan mempercepat produksi atau untuk menemukan cadangan baru. Jika Blok Cepu diserahkan ke Pertamina, saya kira target 1,01 juta barrel bisa dicapai sebelum 2014. Pertamina bisa mempercepat puncak produksi Blok Cepu pada 2012, ujarnya.

Karen meminta DPR dan para pemangku kepentingan mendukung usulan Pertamina menjadi operator di Blok Cepu. Selain itu juga memfasilitasi perundingan normalisasi perjanjian kerja sama operasi Pertamina dengan Mobil Cepu Limited, anak usaha ExxonMobil Indonesia, agar Pertamina tidak menjadi tamu di rumah sendiri. (OIN/EVY)