Belum Perlu Penghematan Terkait Kenaikan Harga Minyak

MediaIndonesia, Selasa, 28 Juli 2009

JAKARTA-MI: Meski harga minyak mentah (crude) dunia mulai merayap di kisaran US$70 per barel, pemerintah belum memiliki rencana kebijakan untuk melakukan penghematan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

“Rencana penerapan kartu pintar (smart card) untuk membatasi konsumsi BBM dalam rangka penghematan BBM bersubsidi tidak akan dilakukan karena tidak ada anggaran. Kita akan dorong supaya bisa diterapkan di 2010 beserta penerapan nozzle khusus di SPBU. BPH Migas hanya melakukan ujicoba penerapan smart card untuk 2009 di pulau Bintan,” ujar Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Tubagus Haryono, melalui pesan singkatnya kepada Media Indonesia, Selasa (28/7).

Meski demikian, imbuh Tubagus pemerintah terus memantau perkembangan harga minyak dunia untuk mengamankan ketersediaan anggaran BBM bersubsidi. Sementara itu, pihak PT Pertamina (Persero) yang selama ini berperan sebagai penyedia dan distributor BBM bersubsidi menyatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan penghematan terkait kenaikan harga crude saat ini. “Kita menjalankan mandat untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM bersubsidi yang diatur dalam APBN, Jadi kita akan ikuti apapun kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah,” ujar Vice President Communications PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra.

Sedangkan Direktur Eksekutif Refrominer Institute, Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kenaikan harga minyak kali ini tidak terkait dengan faktor fundamental karena sesungguhnya permintaan pasar internasional juga belum ada lonjakan yang berarti. “Kenaikan kali ini terjadi karena faktor sentimen positif saja terhadap pemulihan ekonomi global yang diprediksi lebih cepat,” ujar Pri Agung.

Kenaikan kali ini juga diyakini tidak akan membuat pasar internasional terlalu bergejolak. Hal ini terjadi karena negara produsen minyak, terutama yang tergabung dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) justru akan berupaya mempertahankan harga di kisaran ini.

“Beberapa waktu lalu, harga sempat turun karena ada aksi ambil untung (profit taking) dari para pedagang minyak internasional. Untuk kenaikan saat ini OPEC juga tidak akan melakukan aksi apapun karena mereka justru menikmati harga minyak di kisaran US$70 ini,” ujar Pri Agung.

Menurut Pri Agung, dengan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) di kisaran US$60 per barel, kenaikan kali ini masih relatif aman terhadap kemampuan keuangan APBN. “Sebenarnya kenaikan ini tidak terlalu membahayakan karena kemampuan APBN masih bisa menangani fluktuasi harga crude hingga akhir tahun,” ujar Pri Agung.

Dalam APBN-Perubahan 2009, parlemen dan pemerintah sepakat menetapkan besaran subsidi BBM di kisaran Rp52,392 triliun, atau turun Rp5,21 triliun dari anggaran APBN 2009 di kisaran Rp57,605 triliun. Pertimbangan kemampuan APBN ini, imbuh Pri Agung, yang membuat pemerintah tidak memiliki rencana untuk melakukan penghematan secara nasional untuk konsumsi BBM tahun ini.

“Tahun ini mungkin tidak ada upaya penghematan karena pemerintah percaya diri dengan kemampuan keuangan negara. Namun untuk 2010 harus ada upaya penghematan karena ada potensi harga crude akan melonjak hingga di atas US$80 pada tahun depan,” ujar Pri Agung.

Upaya untuk penghematan ini bisa dilakukkan secara langsung misalnya dengan membatasi penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan sepda motor saja, atau melalui pembatasn kapasitas mesin (cc) kendaraan. (Jaz/OL-7)

Klise: Target Produksi Minyak Cepu Gagal Lagi

TEMPO Interaktif, Rabu, 22 Juli 2009

Jakarta – Rencana produksi awal Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur, pada Agustus mendatang dipastikan molor. Dampaknya, target produksi minyak nasional sebesar 960 ribu barel per hari bakal gagal.

Pengamat perminyakan, Kurtubi, menyayangkan kegagalan rencana produksi Cepu pada bulan depan. “Cepu diharapkan mampu menambah produksi minyak yang sudah rendah pada tahun ini,” ujarnya kepada Tempo, Selasa (21/7).

Saat ini rata-rata produksi minyak nasional sebesar 952 barel per hari dari target 960 ribu barel. Menurut Kurtubi, pada saat Purnomo Yusgiantoro menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2000, rata-rata produksi minyak sekitar 1,5 juta barel per hari. “Tapi menjelang berakhirnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009, produksi minyak di bawah satu juta barel per hari,” katanya. Awalnya, Blok Cepu ditargetkan berproduksi 20 ribu barel per hari pada Desember 2008. Namun, karena persoalan pembebasan lahan, target tersebut diundurkan menjadi April 2009. Sayangnya, target itu diubah kembali menjadi Agustus 2009.

Kurtubi mengatakan kegagalan memenuhi target produksi minyak nasional karena tidak adanya temuan baru sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. “Padahal cadangan minyak sangat besar,” ujarnya. Dia menambahkan, manajemen minyak nasional pada pemerintahan mendatang harus segera dibenahi.

Direktur Eksekutif Reform-Miner Institut Pri Agung Rakhmanto menyatakan kegagalan produksi Cepu pada Agustus mendatang karena ada masalah pada kilang. “Saya dapat kabar ada masalah pada pembangunan kilangnya,” ujarnya. Menurut dia, saat ini pembangunan pipa sudah selesai. Kilang tersebut, kata Pri, dibuat di luar negeri dan berbentuk kilang apung.

Dia melanjutkan, keterlambatan produksi terus terjadi karena pemerintah tidak pernah terbuka soal situasi yang terjadi sebenarnya di blok itu. Selain itu, pemerintah tidak melakukan perencanaan yang baik di blok itu. Akibatnya, keputusan melakukan produksi awal tahun ini hanya karena dorongan politis semata. “Kalau memang tidak bisa, jangan dipaksakan,” katanya.

Direktur Operasi Pertamina EP Cepu Kunto Wibisono mengatakan pembangunan pipa dari lapangan Banyu Urip ke fasilitas penyimpanan Lapangan Mudi milik PetroChina sudah selesai. “Tapi kalau soal pembangunan pipa dari kepala sumur ke Banyu Urip itu urusan ExxonMobil,” katanya. “Saya tidak berhak kasih komentar.” Kunto mengatakan soal target produksi awal Blok Cepu sangat bergantung pada pekerjaan ExxonMobil tersebut. “Lebih baik tanya saja ke mereka (ExxonMobil),” ujar Kunto.

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi R. Priyono dan juru bicara ExxonMobil Indonesia, Maman Budiman, tidak bisa dimintai komentarnya soal keterlambatan ini. Pesan singkat dan telepon dari Tempo tidak dibalas ataupun diangkat.

LNG Tangguh Dialihkan Karena Terminal Fujian Masih Disesuaikan

Rabu, 22/07/2009

Jakarta – Pengalihan pengiriman perdana LNG Tangguh yang seharusnya ke Fujian (China) menjadi ke Korea Selatan sempat dipertanyakan. Namun Departemen ESDM menegaskan, pengalihan tersebut harus dilakukan karena terminal penerima LNG di Fujian masih dalam penyesuaian untuk menerima LNG Tangguh.

Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen ESDM Sutisna Prawira, spesifikasi LNG Tangguh termasuk dalam jenis Lean LNG (kandungan C3+ relatif rendah). Jenis ini berbeda dengan LNG Arun dan Bontang yang termasuk Rich LNG (kandungan C3+ relatif tinggi).

LNG Arun dan Bontang dikirim lebih dulu karena sedang mengalami kelebihan pasokan. Namun karena jenis LNG-nya berbeda, maka termina penerima LNG harus disesuaikan terlebih dulu ketika akan menerima LNG Tangguh. “Oleh karena itu, pengiriman kargo LNG pertama dari Tangguh tidak dikirimkan kepada Receiving Terminal LNG di Fujian tetapi ke pasar Korea Selatan,” kata Sutisna seperti dikutip di situs Departemen ESDM, Rabu (22/7/2009).

Sebelumnya, pengiriman perdana LNG Tangguh ke Korea Selatan dengan alasan terminal Fujian belum siap, dipertanyakan.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, terminal Fujian sebenarnya sudah siap menerima LNG sejak sebelum Tangguh berproduksi. “Saya juga ‘tertipu’ karena setelah saya cek, ternyata sejak 17 Mei 2009 lalu LNG terminal di Fujian memang sudah full operation, tidak lagi dalam tahap commissioning,” jelasnya, Rabu (15/7/2009).

Sedangkan terkait rencana pengiriman LNG ke Fujian (China) pada akhir bulan ini, ia menegaskan pengiriman tersebut masih mengikuti komitmen dalam kontrak. Ia mengakui saat ini sudah ada kontrak yang mengikat dan ada tim negosiasi berupaya untuk memperbaiki kontrak. Namun selama belum ada perubahan kontrak, maka kontrak yang ada sekarang masih berlaku, termasuk hak dan kewajiban yang dipunyai oleh masing-masing pihak, seperti kewajiban untuk memasok LNG yang sudah harus dikirim dan penyesuaian harga kembali setiap 4 (empat) tahun sekali.

Bom Tak Berdampak pada Investasi Sektor Energi

Senin, 20 Juli 2009

JAKARTA– Pengemboman hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton tidak memberikan dampak terhadap investasi di sektor energi meskipun pengeboman tersebut membuat sejumlah pengusaha di sektor energi menjadi korbannya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pengeboman kedua hotel tersebut tidak memberikan dampak terhadap investasi di sektor energi.

“Pasalnya investasi di sektor energi tidak seperti investasi di pasar modal (hot money) di mana investor bisa datang dan pergi dengan cepat,” katanya di Jakarta, Senin, (20/7).

Namun, kata Pri Agung, untuk lebih meyakinkan investor bahwa Indonesia aman guna menanam modal, pemerintah mesti mengungkap para pelaku pengemboman hotel JW Marriott dan hotel Ritz Carlton dengan cepat. “Selain itu, pemerintah juga harus menangkap dan menumpas para pelaku pengeboman tersebut,” katanya. Pemerintah, ujar Pri Agung jangan malah mempolitisirnya. Sehingga bisa memperkeruh suasana jika hal itu dilakukan.

Di tempat terpisah, Pengamat Perminyakan Kurtubi juga menyatakan bahwa tidak ada dampak pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton terhadap investasi migas dan energi. “Pasalnya investasi di sektor migas dan energi merupakan investasi jangka panjang. Sehingga tidak terpengaruh oleh aksi teror maupun gejolak politik,” katanya. Yang menyebabkan investasi pencarian cadangan baru migas anjlok dalam 8 tahun terakhir, lanjut Kurtubi adalah: (1) Sistem atau proses investasi dengan Undang-undang migas yang sangat birokratik atau berbelit-belit, (2) Dengan sistem UU Migas saat ini telah mencabut azas lex spesialist sehingga investor harus membayar pajak sebelum berproduksi. “Oleh karena itu, kami mengusulkan supaya UU Migas segera dicabut karena menghambat investasi. Selain itu investasi di sektor migas tidak ada urusannya dengan aksi teror,” katanya. dya/ahi

DIVESTASI NEWMONT: Pemerintah Negosiasikan Harga

Suara Karya, Selasa, 14 Juli 2009

JAKARTA, Pemerintah akan menegosiasikan harga saham 7 persen untuk divestasi tahun 2010. Ini termasuk harga saham untuk divestasi tahun 2008 dan 2009 yang saat ini sedang dalam pembahasan dengan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT).

Menteri Energi dan Sumber Daya Minreal Purnomo Yusgiantoro mengatakan, meski tidak diputuskan dalam arbitrase, Pemerintah Indonesia akan meminta Newmont untuk mau mendivestasikan juga saham pada tahun 2010.

“Saat ini tim pemerintah tengah menegosiasikan harga saham divestasi Newmont tahun 2008 sebesar 7 persen dan 2009 juga 7 persen,” kata Purnomo usai rapat dengan tim pemerintah untuk negosiasi saham divestasi Newmont di Jakarta, Senin (13/7). Hadir dalam rapat ini antara lain Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) M Lutfi, Dirjen Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Bambang Setiawan, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Majdi, dan Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli.

Menurut dia, pemerintah sudah memutuskan aset Newmont tidak lebih dari harga pasar perusahaan tambang asal AS ini yang senilai 3,76 miliar dolar AS. “Kami berpegangan pada angka (3,76 miliar dolar AS) ini. Kami akan tolak kalau harga asetnya di atas nilai ini,” ujarnya.

Purnomo juga menegaskan, pihaknya sudah bersepakat bahwa pembahasan harga saham dengan Newmont harus selesai pada akhir pekan ini. Selain itu, pemerintah juga meminta Newmont bersikap realistis karena semua demi kepentingan masyarakat dan negara.

Meski batas akhir negosiasi sesuai keputusan arbitrase terakhir pada 27 September 2009, namun pemerintah mesti menuntaskan masalah ini paling lambat awal September 2009. Ini karena harus terlebih dahulu menyelesaikan masalah pemberkasan. Dengan demikian, keputusan pemerintah pusat atau daerah yang akan membeli 14 persen saham Newmont sudah harus selesai awal September 2009. Dalam hal ini, daerah bisa berpatokan pada harga divestasi saham 2008 dan 2009 untuk menegosiasikan harga saham untuk 2006 dan 2007 dengan Newmont.

Sementara itu, Gubernur NTB Zainul Majdi mengatakan, pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/ MoU) dengan PT Multicapital, anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk. PT Multicapital berkesempatan memiliki 31 persen saham divestasi perusahaan tambang dan emas milik PT NNT. “Kami sudah ada komitmen dengan Multicapital untuk terus menjadi mitra. Jadi, bukan hanya untuk membeli saham Newmont sebesar 10 persen, tapi hingga 31 persen,” ujarnya.

Zainul juga menga-takan, pihaknya juga berharap dapat membeli 31 persen saham NNT agar masyarakat mendapat manfaat yang optimal. “Kami sudah surati Presiden, Menkeu, dan Menteri ESDM agar daerah mendapat 31 persen,” ucapnya.

Sebelumnya, Multicapital telah ditunjuk sebagai mitra pembelian saham Newmont dalam tender yang digelar tiga pemda yakni Provinsi NTB, Ka-bupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Multicapital diperintahkan menyelesaikan pembentukan perusahaan patungan dengan perusahaan yang dibentuk ketiga pemda, PT Daerah Maju Bersaing (DMB), selama 14 hari hingga tanggal 25 Juli 2009. Alasan konsorsium daerah memilih Multicapital karena memberikan penawaran terbaik. Di antaranya komposisi saham perusahaan patungan adalah 25 persen daerah dan 75 persen Multicapital, 100 persen dana pembelian dari Multicapital, dan daerah dapat menempatkan direksi.

Esensi Divestasi

Menanggapi sikap Pemprov NTB yang menggandeng Multicapital menjadi mitra pembelian saham divestasi NTT, Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, dengan adanya peran swasta, maka esensi divestasi Newmont dinilai sudah hilang. Sebab, kata dia, substansi divestasi Newmont yakni agar negara bisa ikut memiliki saham di pertambangan yang bernilai tinggi tersebut. Namun, dengan kehadiran peran swasta yang dominan, maka kepemilikan saham Newmont justru akan jatuh ke tangan swasta. “Esensi dari divestasi tidak tercapai kalau akhirnya jatuh ke swasta. Divestasi maksudnya karena tambangnya strategis, maka negara juga harus punya,” ujar Pri Agung.

Dengan jatuhnya saham NNT ke tangan swasta (Multicapital), menurut dia, maka bukan tidak mungkin kepemilikan atas NNT ini selanjutnya akan bergulir ke tangan swasta asing atau bahkan kembali ke Newmont.

“Suatu saat bisa jadi kembali ke Newmont lagi. Kalau pakai bendera yang berbeda, bisa gampang ganti kepemilikan. Apalagi kalau perusahaannya terbuka dan diperdagangkan di bursa. Walau perusahaannya lokal, tapi kalau terbuka siapa saja bisa beli,” tuturnya.

Asing

Di tempat terpisah, ekonom dari Institute of Development of Economic dan Finance (Indef), M Fadhil Hasan, mengkhawatirkan apabila tidak ada perhatian pemerintah pada PT NNT, maka saham perusahaan tambang emas itu akan dikuasai asing. “Jika tidak ada perhatian pemerintah seperti kasus Freeport di Timika, Papua, dan Blok Cepu di Jawa Tengah, akan terulang lagi di Newmont Nusa Tenggara di NTB,” ujar Fadhil Hasan.

Menurut dia, apabila tidak ada kehati-hatian pemerintah terhadap kasus pertambangan dan migas seperti Freeport, Cepu, dan Newmont, dipastikan akan dimanfaatkan asing untuk kepentingan bisnisnya. Sebab, lanjut dia, hal itu bentuk imperialisme dan kolonialisme terselubung yang justru didukung oknum pengusaha lokal yang dibayar dengan imbalan kecil.

“Untuk itu, kasus sebelumnya jangan sampai terulang lagi kepada Newmont karena ketidakseriusan pemerintah terhadap divestasi di bidang pertambangan. Dalam konteks saham NNT saat ini, pemerintah diminta untuk menghentikan dugaan praktik penjajahan dan pengkhianatan model imperialis tersebut,” ucapnya.

Sebelumnya, pemerintah mengupayakan tidak perlu memakai penilai independen untuk menghitung harga 14 persen saham divestasi NNT. Direktur Pengusahaan Mineral dan Batu Bara Departemen ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, penggunaan penilai independen berarti pengeluaran biaya lagi. “Kalau bisa, tidak perlu memakai penilai independen karena berarti cost (biaya),” katanya.

Menurut dia, hingga saat ini pihaknya masih optimistis mencapai kesepakatan dengan NNT. Ditargetkan bisa selesai pada bulan ini juga. Sementara itu, mengenai minat perusahaan swasta membeli 10 saham divestasi milik daerah, sesuai keputusan arbitrase. (A Choir)

Yudhoyono Harus Siap Tidak Populer

Kompas,14 Juli 2009 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hampir dipastikan memimpin kembali pemerintahan lima tahun mendatang, diharapkan berani mengorbankan popularitas demi pembenahan perekonomian.

Beberapa langkah kontroversial yang dinilai penting, seperti revisi UU Ketenagakerjaan, penegakan aturan tata ruang, peninjauan kontrak penjualan energi primer, serta pemangkasan subsidi yang tidak tepat sasaran, selama ini terkesan dihindari demi popularitas politik.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit di Jakarta, Senin (13/7), berpendapat, periode terakhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lima tahun mendatang merupakan saat paling tepat untuk memastikan bahwa pertimbangan profesional dalam pengelolaan ekonomi tidak lagi disingkirkan oleh akomodasi politik.

Sektor pertanian, misalnya, menyerap 42 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, terlalu mahal untuk digunakan mengakomodasi titipan partai politik, kata Anton.

Untuk mengembangkan sektor pertanian, pemerintah dinilai sudah saatnya bekerja berdasarkan desain komprehensif yang terukur, transparan, dan berkekuatan hukum. Desain ini tentu tidak semata menjadi domain Departemen Pertanian.

Di dalamnya terdapat peran lintas sektoral departemen, misalnya terkait pelatihan sumber daya manusia, pembiayaan, integrasi industri, infrastruktur, perdagangan, dan tata ruang.

Salah satu langkah tidak populer yang dibutuhkan sektor pertanian adalah penegakan aturan tata ruang.

Presiden mendatang perlu punya ketegasan untuk menindak daerah yang melanggar ketentuan tata ruang dengan kekuatan fiskal, kata Anton.

Kesepakatan antara departemen teknis di tingkat pusat dan pemerintah daerah dipandang perlu untuk membuat ketentuan tata ruang berjalan. Tata ruang juga dibutuhkan untuk memastikan pelestarian lingkungan hidup tidak dikalahkan oleh kekuatan modal seperti yang sebelumnya kerap terjadi.

Belum konkret

Langkah tak populer lain yang mendesak adalah revisi UU Ketenagakerjaan. Revisi ini menjadi prasyarat mendasar untuk mendorong pertumbuhan industri, terutama yang bersifat padat karya. Pada masa kampanye, SBY mengatakan, buruh harus sejahtera dan mendapat kenaikan gaji. Di sisi lain, perusahaan pun harus tumbuh dan meraih laba karena negara membutuhkan pembayaran pajak.

Hal itu merupakan gagasan normatif yang disetujui dan menyenangkan semua pihak. Akan tetapi, SBY tidak pernah mengatakan bagaimana gagasan itu bisa dicapai.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno menekankan, pertumbuhan industri perlu diarahkan untuk memastikan terjadinya proses pertambahan nilai dari beragam sumber daya alam di Indonesia. Melalui proses itu, penyerapan tenaga kerja sekaligus peningkatan perolehan devisa didapat.

Benny mengingatkan, krisis ekonomi dunia saat ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan perdagangan luar negeri yang selama ini terkesan begitu berani dalam pengintegrasian pasar melalui perjanjian perdagangan bebas.

Sementara di pasar domestik, perbaikan arus barang dan perlindungan melalui instrumen nontarif menjadi pekerjaan rumah yang mendesak.

Dalam bidang energi, prioritas kerja yang disampaikan SBY dalam kampanyenya juga belum konkret, sebatas mewujudkan ketahanan energi.

Pengamat migas, Pri Agung Rakhmanto, mengingatkan, untuk mencapai ketahanan, ketergantungan pada minyak bumi mesti berkurang signifikan. Dua agenda besar perlu dilakukan untuk mendasari pengurangan ketergantungan pada bahan bakar minyak, yakni pembenahan pengelolaan energi primer dan infrastruktur energi.

Pri Agung menilai, pemerintahan yang dipimpin SBY selama ini terlalu mengandalkan mekanisme pasar dalam pengembangan infrastruktur energi. Di sisi lain, belum tampak itikad pemerintah untuk belajar dari salah kaprahnya kontrak-kontrak penjualan energi yang telah merenggut kewenangan negara terhadap energi primer dari bumi Indonesia sendiri.

Di sektor energi, langkah tidak populer yang amat penting juga berkait dengan pengurangan subsidi yang tidak tepat sasaran. SBY menyebutkan hal itu dalam kampanye pemilu presiden lalu, tetapi tidak menjelaskan bagaimana hal itu akan dilakukan.

Konkretnya bagaimana Apakah hanya kendaraan roda dua yang mendapat BBM bersubsidi, lalu dana yang sebelumnya untuk subsidi dialihkan untuk membangun infrastruktur energi, kata Pri Agung.

Besaran subsidi seharusnya tidak diserahkan semata pada naik turunnya harga minyak dunia, tetapi menjadi bagian dari desain besar kebijakan energi yang diketahui masyarakat dan bisa dipantau hasil implementasinya.

Desain besar kebijakan energi itu pula yang akan memberikan kepastian kepada calon investor di sektor energi, termasuk untuk mengembangkan energi alternatif. Tidak adanya desain implementatif dari kebijakan energi nasional selama ini membuat pengembangan energi alternatif nyaris baru sebatas wacana.(NUR HIDAYATI)

Purnomo Tak Selesaikan Banyak PR

detikFinance Selasa, 14/07/2009 14:53 WIB

Jakarta – Kamar Dagang Industri (Kadin) menilai tidak wajar jika Purnomo Yusgiantoro kembali menjabat sebagai Menteri ESDM. Banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan Purnomo.

“Rasanya tidak wajar kalau ia menjabat kembali sebagai Menteri ESDM, ” ujar Wakil Ketua Umum Kadin bidang Energi, Herman Afif saat berbincang dengan detikFinance, Selasa (14/7/2009).

Herman menilai Purnomo sebagai sosok yang profesional, pekerja keras dan cerdas serta mau menerima kritik. “Namun sayangnya ada beberapa program yang belum berhasil dilaksanakan,” jelasnya Herman menyebutkan program-program yang belum berhasil diselesaikan Purnomo yaitu mengenai sosialisasi penggunaan gas untuk kebutuhan domestik seperti otomotif atau industri dan peningkatan produksi minyak dalam negeri.

Sebagai Menteri, Purnomo juga belum bisa mendorong Pertamina untuk membangun kilang di dalam negeri untuk mengurangi impor BBM. “Penegakan hukum di sektor pertambangan juga masih kurang tegas,” ungkapnya. Saat ditanya siapa yang Kadin usulkan untuk menjadi calon Menteri ESDM, Herman tidak mau menyebutkan nama. “Itu kami serahkan kepada pemerintah, yang jelas Menteri ESDM yang baru harus mampu membawa sektor energi menjadi lebih baik,” paparnya.

Senada dengan Herman, Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto juga menyarankan agar Purnomo sebaiknya tidak lagi menjabat sebagai Menteri ESDM. “Walaupun dari sisi kapasitas beliau tidak diragukan lagi, dari sisi keberanian mengambil keputusan-keputusan penting di sektor energi selama 5 tahun terakhir beliau tidak cukup bisa diandalkan,” kata Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada detikFinance.

Pri Agung menilai saat ini Indonesia membutuhkan Menteri ESDM yang hanya punya kompetensi, paham masalah, namun juga berani mengambil keputusan-keputusan penting dan langkah-langkah terobosan untuk menyelesaikan masalah-masalah di ESDM. (epi/lih)

Prioritaskan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Negeri

Jakarta,Pengamat energi dan tambang, Pri Agung Rakhmanto, meminta pemerintahan baru memprioritaskan pemenuhan kebutuhan energi melalui kewajiban pasokan ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO). Kebijakan mengutamakan pemenuhan energi domestik (DMO) harus menjadi prioritas pemerintahan mendatang, kata Pri Agung, di Jakarta, Rabu (8/7).

Prioritas lain, menurut dia, adalah mengembangkan energi yang bukan berasal dari minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). Termasuk pula pembangunan infrastruktur mesti dimasukkan dalam UU APBN setiap tahun, sebagai bagian integral dari upaya pengurangan subsidi BBM. Kenapa harus masuk UU APBN, supaya konkret tentang apa yang akan dikerjakan tiap tahunnya dan bisa ada sanksi tegas bila tidak dijalankan karena pemerintah berarti melanggar UU, jelasnya.

Ia menambahkan prioritas DMO itu akan terkait dengan pengembangan energi non-minyak dan BBM. Sebab, tidak mungkin energi non-BBM seperti gas dan batubara bisa menggantikan peran BBM di dalam negeri, jika terus diekspor. Sementara pengamat ekonomi Tony Prasetiantono mengatakan kemenangan pasangan SBY-Boediono akan menuai kepercayaan pasar sehingga rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia terus menguat.

Saya yakin pasar akan merespons positif. Sukses Pilpres ini saya duga akan diikuti dengan gelombang capital inflow yang akan menyebabkan likuiditas melimpah, ujarnya.

Menurut dia, rupiah akan merespons dengan penguatan ke level di bawah Rp10.000 per dolar AS dan cadangan devisa yang makin mendekati 59 miliar dolar AS. Namun, tidak memprediksi level penguatan IHSG. Di saat likuiditas longgar ini, perbankan memiliki kesempatan untuk menurunkan sukubunganya. Jika perbankan menurunkan sukubunga, aktivitas di sektor riil pun bisa bergerak. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi di semester II tahun 2009 akan terdongkrak. Bahkan, kondisi bisa lebih baik lagi jika kabinet baru SBY dinilai profesional dan kredibel.

Tony menambahkan pertumbuhan ekonomi bisa didorong sedikit di atas 4 persen, tapi masih di bawah 4,5 persen. Apalagi jika nanti SBY bisa membentuk kabinet yang bagus atau profesional. Roadmap Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, MS Hidayat, mengharapkan Presiden terpilih mempertimbangkan implementasi pemikiran atau program Capres yang kalah dalam Pilpres, agar menjadi program pemerintah terpilih termasuk bidang ekonomi. Pemerintah yang baru perlu mempertimbangkan pemikiran Capres yang kalah, karena ada pemikiran yang baik yang patut dipertimbangkan, ujarnya.

Kadin kini telah menyusun roadmap program-program yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintahan baru. Rencananya roadmap tersebut akan diserahkan setelah pelantikan Presiden terpilih Oktober mendatang. Ia berharap semua pihak bisa menerima kemenangan pasangan SBY-Boediono ini. Setelah pesta demokrasi selesai, masyarakat diharapkan bisa melakukan kegiatannya seperti semula. Hidayat juga meminta pertikaian politik harus segera diakhiri. Saya minta ada rekonsiliasi nasional, tegasnya.

Sedangkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi, mengatakan mengenai hasil perhitungan suara Capres dan Cawapres, sebaiknya harus menunggu dari pengumuman KPU yang resmi, karena masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan. Kita menunggu saja, karena kita tidak begitu mengerti perhitungan quick count apakah seribu sekian suara itu bisa mewakili semuanya, tuturnya.

Ia mengatakan agar Presiden terpilih harus konsisten dengan peraturan yang sudah ada, menjaga stabilitas politik, mengurangi ekonomi biaya tinggi dan memperbaiki infrastruktur. Ini PR-PR (pekerjaan rumah-Red) yang sudah ada yang harus dijalankan. Kalau SBY (terpilih), kan sudah tahu PR-PR yang sudah ada semoga dia bisa menyelesaikan, katanya.(iz)