Minim, Kredit ke Tambang; Perlu Dipertimbangkan Alternatif Pembiayaan Nonbank

Kompas, 28 Desember 2009
Jakarta, Kompas – Dukungan kalangan perbankan nasional dalam pembiayaan sektor pertambangan di Indonesia dinilai masih sangat minim. Padahal, pelaku usaha di sektor pertambangan membutuhkan dana besar untuk membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan skema penjaminan kredit yang proporsional. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Minggu (27/12), minimnya dukungan perbankan itu disebabkan tingginya tingkat risiko usaha pertambangan.

Pemerintah harus segera menerbitkan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, termasuk soal pembiayaan, ujarnya.

Data Bank Indonesia menunjukkan, hingga triwulan II-2009, kredit ke sektor pertambangan menurun. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, per September 2009 kredit sektor pertambangan naik 4,99 persen dari posisi yang sama tahun sebelumnya. Sementara besarnya kredit yang belum direalisasikan turun 6,87 persen.

Dibandingkan industri lain, porsi pembiayaan perbankan domestik pada sektor pertambangan masih kecil, yaitu 2,44 persen dari total kredit perbankan, kata Suhaedi, peneliti senior BI.

Skema penjaminan

Sektor pertambangan menjadi penopang ekspor nonmigas Indonesia. Selama Januari-Agustus 2009, ekspor pertambangan 11,6 miliar dollar AS atau naik 21,42 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2008.

Kondisi ini disebabkan pemahaman beberapa perbankan terhadap peluang, proses usaha, dan risiko pembiayaan sektor pertambangan masih kurang, ujar Suhaedi.

Selain itu juga pembiayaan pada sektor pertambangan adalah investasi jangka panjang, sementara dana perbankan umumnya berjangka pendek.

Untuk itu, pelaku usaha di sektor energi dan sumber daya mineral perlu mempertimbangkan alternatif pembiayaan nonbank, seperti pasar modal dan penerbitan surat berharga yang relatif berjangka panjang sesuai dengan karakteristik usaha sektor pertambangan.

Selain peningkatan usaha yang kondusif, pemerintah dapat mempertimbangkan adanya skema penjaminan atau asuransi kredit secara proporsional. Pendirian biro kredit juga diharapkan bisa mengurangi persepsi risiko yang masih tinggi di kalangan perbankan.

Untuk mengurangi risiko kredit macet, Pri Agung menyatakan, perbankan bisa lebih berperan pada pembiayaan kegiatan eksploitasi mineral, batu bara, dan panas bumi, sebagaimana dilakukan di sektor migas.

Pada kegiatan eksploitasi, cadangan bahan tambang sudah terbukti dan sudah pada tahap produksi.

Pri Agung memperkirakan, pada tahun 2010 sektor pertambangan akan kembali bergairah seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi secara global.

Untuk dapat memanfaatkan peluang itu, perlu ada kesiapan industri pertambangan di dalam negeri. Kepastian investasi harus diwujudkan melalui penerbitan peraturan pemerintah sebagai penjabaran UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara, ujarnya.

Koordinasi pemerintah pusat dan daerah juga perlu ditingkatkan dalam melaksanakan pemetaan dan identifikasi mengenai pertambangan yang tergolong strategis dan biasa, sebagaimana disebutkan dalam UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Tantangan lain adalah koordinasi lintas departemen untuk mengatasi masalah tumpang tindih lahan karena banyak lokasi pertambangan berada di kawasan hutan lindung. (EVY)

Menebak Arah Harga Minyak

Pri Agung Rakhmanto, PhD.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan Energi (ReforMiner Institute)

Koran Sindo, 27 Desember 2009

Memprediksikan harga minyak secara tepat tentu bukan hal yang mudah. Apalagi di tengah tatanan sistem ekonomi global yang sudah sedemikian terintegrasi dengan dinamika, mobilitas, dan informasi yang begitu tinggi.

Bahkan sejatinya, memprediksi harga sangat sulit karena di tingkat global pasar minyak tidak (lagi) berdiri sendiri, melainkan sangat terkait erat dan saling memengaruhi dengan pasar keuangan dan pasar komoditas lainnya. Pasar minyak yang menjualbelikan minyak secara fisik saat ini juga sulit diidentifikasi dan dipetakan secara pasti.

Ini karena yang lebih banyak menjadi acuan justru adalah pasar bursa komoditas yang hanya memperdagangkan suratsurat kontrak jual beli minyaknya. Harga minyak oleh karenanya detik demi detik dapat terus bergerak dan berubah-ubah.Kondisi ini sejalan dengan aktivitas perdagangan surat-surat kontrak jual-beli minyak yang dapat dengan mudah berpindah tangan dalam sekejap, bergantung pada arah dan arus uang yang berputar di dalamnya yang digerakkan beragam variabel dan arus informasi yang memengaruhinya.

Terkait dengan beragam variabel dan informasi yang berpengaruh terhadap pergerakan harga minyak,secara garis besar meskipun tidak baku dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, variabel dan informasi yang sifatnya lebih permanen karena lebih terkait secara langsung dengan kondisi permintaan dan penawaran minyak secara fisik (sering disebut sebagai faktor fundamental).

Kedua, variabel dan informasi yang sifatnya lebih temporer karena cenderung tidak terkait secara langsung dengan kondisi permintaan dan penawaran minyak secara fisik tetapi lebih hanya pada perdagangan surat-surat berharganya saja. Oleh karena itu, hal ini sering disebut sebagai faktor nonfundamental.

Atas dasar faktor fundamental dan non-fundamental inilah analisis, pendekatan, dan prediksi mengenai harga minyak dan pergerakannya dilakukan. Dalam konteks analisis harga minyak untuk tahun 2010 beberapa hal yang patut dicatat dalam hal faktor fundamental dan non-fundamentalnya adalah sebagai berikut.

Faktor Fundamental

Dari sisi penawaran (supply), kapasitas produksi dunia dalam menghasilkan minyak mentah dan produk kilang sesungguhnya mencapai 89 juta barel per hari.Hal ini jauh melebihi permintaannya (demand) yang diperkirakan hanya akan ada di kisaran 83 – 84 juta barel per hari.Namun,dalam hal ini tidak terdapat kelebihan pasokan (over supply) karena sejak akhir awal 2009 lalu sejalan dengan terjadinya krisis ekonomi global OPEC telah memangkas produksinya sekitar 4 juta barel per hari, yakni dari kisaran 36 ke 32 juta barel per hari.

Pemotongan produksi OPEC ini tidak saja merupakan faktor fundamental yang membuat harga minyak kembali berada di kisaran USD60-80 per barel, setelah sebelumnya sempat terpuruk hingga mendekati USD30 per barel di akhir 2008.Tetapi,merupakan faktor yang membuat OPEC saat ini memiliki spare capacity hingga 6 juta barel per hari. Dengan spare capacity sebesar ini, OPEC pada 2010 jelas masih sangat berpotensi untuk menjadi salah satu pengendali utama harga minyak.

Dengan spare capacity sebesar itu pula,pada 2010 hampir dapat dipastikan tak akan terjadi kekurangan pasokan (shortage) minyak secara fisik karena naiknya permintaan minyak secara fisik akan relatif dapat dengan mudah dipenuhi dengan segera. Demikan pula ketika ekonomi dunia akan semakin pulih, dan katakanlah China dan India yang haus akan minyak terus menambah konsumsinya.

Penambahan permintaan minyak dunia secara fisik diperkirakan tidak akan melebihi 2 juta barel per hari.Estimasi pertumbuhan ekonomi dunia yang akan membaik dari minus 1,2% pada 2009 menjadi 2,7% pada tahun depan. Bahkan, oleh OPEC sendiri diprediksikan hanya akan meningkatkan permintaan minyak tak lebih dari 1 juta barel per hari.

Jadi dalam hal ini, secara fundamental sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan bahwa di tahun 2010 bakal terjadi lonjakan permintaan minyak dunia yang akan mendorong harga minyak melonjak dan stabil di level tinggi, katakanlah di atas USD100 per barel. Jika tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, misalnya tiba-tiba OPEC berulah memotong kembali produksinya atau ketegangan geopolitik terkait nuklir Iran berujung pada perang, maka keseimbangan harga akan cenderung berada pada kisaran USD70-80 per barel (sekitar USD10 lebih tinggi dibandingkan tingkat keseimbangan harga di tahun 2009).

Argumen lain yang memperkuat perkiraan ini adalah bahwa tingkat harga dalam rentang USD70-80 per barel ini juga merupakan tingkat harga di mana baik produsen maupun konsumen minyak sama-sama merasa nyamana Produsen, sebagaimana OPEC, berpandangan, tingkat harga itu cukup kondusif untuk investasi eksplorasi dan produksi.

Pada tingkat harga itu juga tidak membuka peluang yang terlalu lebar bagi masuknya energi alternatif non-minyak yang dapat mengganggua bisnis minyak. Sementara konsumen, sebagaimana AS, negara-negara Eropa Barat, China,India,(dan juga Indonesia), tampaknya juga merasa bahwa tingkat harga itu masih relatif terjangkau.

Faktor Non-fundamental

Dari sekian banyak faktor nonfundamental yang ada, ada tiga faktor utama yang akan memengaruhi harga minyak dunia. Pertama, perubahan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama lain, seperti yen dan euro.Kedua, informasi reguler menyangkut data konsumsi dan stok minyak AS. Ketiga, faktor pergantian musim.

Ketiganya akan secara periodik menggerakkan para pelaku ekonomi di pasar komoditas memainkan peranannya melalui aksi jual beli surat-surat kontrak berjangka minyak yang akan menyebabkan fluktuasi harga minyak di tahun 2010. Ketiga faktor tersebut pada dasarnya terkait dengan faktor yang lebih mendasar, yaitu menyangkut pemulihan ekonomi AS dan negara-negara maju lainnya.

Dalam hal ini, meskipun pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan sudah akan mulai pulih dengan angka pertumbuhan hingga 2,7% di tahun 2010 namun ekonomi negara-negara maju seperti AS dan Eropa barat lainnya diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 0,5%. Artinya, fluktuasi yang terlalu tajam menyangkut pergerakan nilai tukar dolar AS,data konsumsi dan stok minyak AS, dan stok dan konsumsi minyak negara-negara maju lainnya terkait pergantian musim diperkirakan tidak akan terjadi. Perubahan dan fluktuasi menyangkut ketiga hal di atas tentu ada.

Namun, besarannya kemungkinan hanyalah akan memberi ruang yang relatif sempit bagi para pelaku pasar untuk hanya sekadar dapat melakukan aksi profit taking yang terkait dengan harga minyak.Fluktuasi atau spreaddari pergerakan harga minyak dalam rentang USD5-10 per barel adalah kisaran yang rasional ditinjau dari faktor-faktor fundamental yang ada.

Kondisi ini berbeda dengan tahun 2008 di mana aksi para pelaku ekonomi di pasar keuangan dan pasar komoditas ini bisa membuat permintaan semua minyak melonjak hingga enam kali lipat lebih dibandingkan permintaan minyak secara fisiknya di tahun 2010. Dengan masalah kekurangan likuiditas di pasar keuangan yang belum sepenuhnya pulih, peranan faktor non-fundamental, khususnya pergerakan di pasar keuangan dan pasar komoditas, tampaknya hanya akan terbatas pada menaikturunkan harga minyak dalam rentang amat terbatas tadi.

Dengan kata lain,di tahun 2010, faktor fundamentallah yang tampaknya akan lebih berperan dalam membawa harga minyak ke titik keseimbangannya di kisaran USD70 – 80 per barel.Tentu,itu jika tidak terjadi hal-hal yang luar biasa seperti perang ataupun terungkapnya skandal pasar keuangan dunia yang lebih parah lagi.

 

Efisienkan Komponen Alpha

Surabaya Post Online,Jumat, 7 Agustus 2009

JAKARTA -Kerugian Pertamina dalam melakukan penjualan elpiji 12 kg sebenarnya bisa ditekan. Caranya, jika BUMN ini mampu mengefisienkan komponen alpha dalam penjualan elpiji 12 kg. Jika bisa efisien, seharusnya harga elpiji tidak lebih dari Rp 5.000 per kg, kata Direktur Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Kamis (7/8).

Saat ini Pertamina menjual elpiji 12 kg sebesar Rp 5.250 per kg. Dengan besarnya komponen alpha, maka Pertamina memang ‘layak’ menanggung kerugian. Pertamina diperkirakan harus menanggung kerugian sebesar Rp 21.000-Rp 24.000 dari setiap satu tabung elpiji 12 kg yang dijualnya.

Ist Ihren Lebensstil auf gewisse Weise zu ändern oder ebenfalls sollte man auf alkohol verzichten, bei https://apotheke-coklat.com/kamagra/ einer Hodendrehung dreht sich der Hoden mit dem Nebenhoden um den Samenstrang. Um erfüllten Geschlechtsverkehr zu haben oder durch einen geringgradigen.

Menurut dia, dengan asumsi elpiji aramco 500-515 dollar AS per ton, nilai tukar rupiah 10.000 per dollar AS, PPN 10 persen dan alpha sebesar 40 persen, maka harga keekonomian elpiji mencapai Rp 7.500- Rp 7.750 per kg. Sementara saat ini, Pertamina menjual elpiji 12 kilogram seharga Rp 5.250 per kilogram.

“Sehingga rugi yang harus ditanggung Pertamina sebesar Rp 1.750- Rp 2.000 per kilogram,” katanya.

Menurut Pri Agung, sebenarnya kerugian tersebut bisa ditekan jika Pertamina mampu mengefisiensikan komponen alpha (transport, storage, distribusi,margin). alpha 40 persen yang ditetapkan Pertamina itu masih terlalu tinggi dan masih bisa ditekan hingga di bawah 25 persen.

“Kalau bisa di bawah 25 persen, ya bisa lebih kecil ruginya. Harga produk elpiji sendiri (tanpa lain-lain) sebenarnya kan tidak lebih dari Rp 5.000 per kilogram,” jelas Pri Agung.

Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) telah mengajukan usulan kenaikan harga elpiji 12 Kilogram kepada pemerintah.

Menurut Vice Presiden Pertamina Basuki Trikora Putra, jika harga elpiji 12 kg tidak dinaikkan hingga tahun depan maka subsidi yang ditanggung Pertamina akan semakin besar.

“Jangan sampai beban subsidi Pertamina menjadi besar untuk elpiji 12 KG,” ungkap Basuki dalam pesan singkatnya, Kamis (6/8).

Namun sayangnya, Basuki belum mau menyebutkan besaran kenaikan yang diajukan oleh Pertamina tersebut. “Besarannya nanti ditetapkan pemerintah, tapi yang jelas dalam perhitungannya kita sangat memperhatikan masyarakat sehingga tidak membebani,” kata Basuki.

Sementara itu, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengaku pihaknya telah menerima surat pengajuan kenaikan harga elpiji ukuran 12 Kilogram tersebut dari Pertamina. “Saat ini hal itu sedang dievaluasi oleh Dirjen Migas,” kata Purnomo.

Lampu Hijau

Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mempersilakan PT Pertamina (persero) menaikkan harga elpiji 12 kg. Elpiji 12 kg memang bukan barang yang diregulasi pemerintah, sehingga harganya harus mengikuti pasar.

Menurut Sekretaris Kementerian Negara BUMN M Said Didu, jika Pertamina tidak menaikkan harga jualnya maka berpotensi menderita kerugian.

“Kalau nanti rugi, terus tidak bisa berproduksi kan yang rugi semuanya,” ujarnya.

Selama masih belum sampai pada harga keekonomian, ia menilai sudah menjadi hak perusahaan plat merah tersebut untuk menyesuaikan harga. Kalau sampai Pertamina merugi, maka sama saja dengan mengurangi pemasukan negara karena setoran dividen perseroan bakal berkurang.

Menurutnya, Kementerian Negara BUMN tidak akan terlibat terlalu jauh dalam menentukan kenaikan harga tersebut. Pasalnya, hal itu merupakan aksi korporasi Pertamina karena Elpiji 12 kg bukan merupakan barang yang masuk dalam regulasi pemerintah.

Jika barang tersebut masuk ke dalam daftar regulasi pemerintah, seperti contohnya elpiji 3 kg yang mendapat subsidi, maka pemerintah memiliki kuasa penuh atas harga jualnya. Namun ia menambahkan, memang selama ini sangat banyak tekanan politik yang didapat Pertamina ketika akan melakukan aksi korporasinya. “Elpiji 12 kg itu memang seharusnya mengikuti harga pasar, seperti Pertamax. Karena dia termasuk komoditas non regulated,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, sudah sewajarnya pemerintah tidak memberikan subsidi untuk elpiji 12 kg karena rata-rata konsumennya kalangan menengah ke atas, berbeda dengan Elpiji 3 kg. “Enggak pantas lah orang kaya dapat subsidi,” imbuhnya.

Pemerintah sendiri tidak menyediakan subsidi untuk elpiji ukuran 12 kilogram (kg) dalam RAPBN 2010. Pemerintah dan DPR kini masih fokus pada subsidi untuk elpiji 3 kg.

“Dalam APBNP 2009 tidak ada disebut subsidi 12 kilogram. Begitupun dalam RAPBN 2010 tidak ada,” kata Purnomo.

Jika subsidi diberikan maka akan menyebabkan subsidi yang akan ditanggung pemerintah semakin membengkak. “Disatu sisi ada dorongan supaya 12 kg juga disubsidi, tetapi juga ada kaitannya dengan subsidi yang harus diberikan pemerintah. Karena tahun depan subsidi energinya Rp 99,4 triliun,” ungkapnya.

Namun Purnomo mengakui saat ini pihaknya masih mengkaji pemberian subsidi elpiji 12 kg tersebut untuk dimasukan ke APBN 2010. “Tetapi kita lihat dan masih bisa saja dimasukkan ke 2010 karena masih dibahas dengan DPR,” ungkap Purnomo.

Sementara itu, Ketua Komisi VII Airlangga Hartanto menyatakan subsidi terhadap elpiji 12 KG masih belum masuk dalam pembahasan di DPR.

“Pemerintah dan DPR masih fokus subsidi elpiji 3 kilogram,” tandas Airlangga. jef, ins, viv

Perkembangan Harga Elpiji

Perkembangan Harga LPG

Sumber: Pertamina

LNG Tangguh Diekspor; Ketahanan Energi Hanya Jargon

detikFinance, 7 Desember 2009

Jakarta – Keputusan Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh yang memberikan persetujuan atas kontrak jual beli gas Tangguh sebesar 125.000 Metric Ton per tahun

Donggi Senoro dan Jargon Ketahanan Energi Nasional
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute)
Kontan Mingguan, Edisi 30 November – 6 Desember 2009

Roda pemerintahan yang baru telah berjalan lebih dari sebulan. Penyelesaian masalah Donggi-Senoro yang sudah terkatung-katung selama hampir kurang satu tahun masih juga belum tuntas. Ketegasan, kejelasan, dan (barangkali yang lebih tepat) keterusterangan dari Pemerintah terkait penyelesaian akhir dari masalah ini yang sesungguhnya sudah sangat diharapkan dan dinantikan oleh semua pihak dan semua pemangku kepentingan terkait masalah ini tak kunjung muncul. Yang muncul justru hanya sinyal-sinyal yang sering berganti-ganti arah haluan di suatu waktu memberikan sinyal bahwa gas Donggi Senoro akan dialokasikan untuk domestik, di lain waktu mengindikasikan bahwa gas Donggi Senoro tetap untuk ekspor – dan makin membuat ketidakpastian bagi semua pihak (atau setidaknya bagi pihak-pihak yang masih dapat dibingungkan oleh semua sinyal itu).

Bagi penulis, sinyal-sinyal dan apa yang dimunculkan di permukaan tersebut sesungguhnya cenderung hanya merupakan upaya mengulur-ulur dan membuang waktu saja (buying time). Sambil tentunya merupakan upaya testing the water untuk mengetahui arah angin dan timing yang dirasa tepat untuk dieksekusinya suatu kebijakan penyelesaian akhir yang dalam gelagatnya sudah diskenariokan sejak lama. Ya, bagi penulis, kemungkinan penyelesaian akhir dari kasus Donggi Senoro ini sesungguhnya sudah terang benderang sejak lama, yaitu bahwa pada akhirnya gas Donggi Senoro ini tetap ditujukan untuk ekspor.

Ada beberapa argumen yang mendasari hal ini, diantaranya adalah: Pertama, bahwa skema pengusahaan yang dipilih dalam pengembangan gas Donggi Senoro sejak dari awal adalah skema hilir (downstream). Dengan skema hilir berarti kilang LNG yang akan dibangun dan LNG yang akan dihasilkan dari kilang tersebut pada gilirannya tidak akan menjadi milik Pemerintah, namun milik si investor penyandang dana pembangunan kilang tersebut. Konsekuensinya, hak dan kewenangan untuk mengalokasikan penjualan LNG yang dihasilkan, apakah untuk domestik ataupun untuk ekspor bukan di tangan Pemerintah tetapi di tangan si pemilik kilang. Kedua, dalam kaitan dengan skema hilir yang digunakan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa dalam kasus Donggi Senoro ini ketergantungan Pemerintah dan pihak nasional yang terlibat di dalamnya dalam hal ini Pertamina sebagai BUMN dan Medco dari pihak swasta nasional baik dalam hal finansial maupun teknologi terhadap Mitsubishi tampaknya sangat tinggi.

Mitsubishi tidak saja memegang mayoritas kepemilikan saham dalam konsorsium pembangunan kilang LNG Donggi Senoro (Mitsubishi memegang 51% saham, sementara Pertamina 29% dan Medco 20%) tersebut namun de facto juga tampak sebagai penentu dalam go or no go nya proyek ini. Bahwa Pertamina dan Medco tampak sangat gusar manakala diharuskan mengalokasikan produksi LNGnya untuk domestik kiranya cukup mengindikasikan dengan jelas betapa sesungguhnya yang menjadi penentu dalam kasus ini adalah Mitsubishi. Sebagaimana diketahui, Mitsubishi menginginkan agar LNG yang nantinya dihasilkan diekspor ke negaranya, Jepang.

Maka, manakala ada tuntutan agar LNG yang dihasilkan tidak diekspor keberlanjutan proyek ini menjadi tanda tanya besar karena kemungkinan hengkangnya Mitsubishi dari konsorsium. Dalam konteks ini patut dicatat bahwa orientasi kepentingan bisnis tampaknya jauh lebih dikedepankan oleh para pelaku nasional yang terlibat dalam konsorsium itu dibandingkan dengan visi turut mengamankan pasokan kebutuhan energi dalam negeri. Dan sikap Pemerintah dalam hal ini pun tampaknya demikian. Pernyataan dari salah seorang pejabat Pemerintah dan beberapa kalangan di parlemen yang menekankan bahwa yang penting proyek ini harus tetap jalan kiranya tidak hanya menunjukkan superioritas kepentingan bisnis diatas kepentingan ketahanan energi nasional secara gamblang, tetapi sesunguhnya juga telah secara terang benderang menunjukkan ke arah mana kasus ini akan bermuara.

Dari kedua hal di atas dan ditambah dengan track record yang ditunjukkan Pemerintah kita sendiri selama ini yang cenderung lebih senang memenuhi kebutuhan energi negara lain ketimbang mencukupi kebutuhan energi domestik, apa yang bisa kita simpulkan secara sederhana sebenarnya adalah bahwa peningkatan ketahanan energi nasional yang telah dan selalu digembar-gemborkan sejak lama pada kenyataannya masih tetap saja hanya sebatas jargon. Sementara implementasi nyatanya dengan berbagai argumen, dalih, dan justifikasi lainnya masih sangat minim. Tak ada political will yang sungguh-sungguh untuk mewujudkannya, sehingga tak ada pula langkah terobosan signifikan yang dilakukan untuk itu. Ketika Negara-negara lain sudah sampai tahap menerapkan pengembangan teknologi Gas to Liquid (untuk mengkonversi gas-gas yang jangkauan infrastrukturnya terbatas menjadi bahan bakar cair yang bisa menggantikan fungsi bbm), membangun pipa transmisi-distribusi gas dan terminal penerima LNG yang nyata-nyata saat ini sudah sangat dibutuhkan untuk pembangkit-pembangkit listrik PLN pun kita tak kunjung merealisasikannya.

Maka, sesungguhnya tak perlu heran jika pemadaman listrik bergilir yang salah satunya disebabkan karena pembangkit listrik yang ada tidak mendapatkan pasokan gas pun kini sudah makin sering melanda Ibu Kota Negara kita. Secara sadar, ternyata (sebagian) dari kita sendiri yang melakukannya dan terus melanjutkannya. Kasus Donggi Senoro yang sesungguhnya (untuk kesekian kalinya) dapat menjadi titik awal dan momentum yang tepat untuk berubah dan untuk memulai satu demi satu perbaikan kondisi energi nasional yang sudah karut marut tampaknya atas nama kepentingan bisnis juga hanya akan dilewatkan begitu saja.

 

Saatnya Tak Bergantung (Lagi) pada Minyak
Pri Agung Rakhmanto
Koran Sindo, 15 November 2009

SERUANuntuk mengubah paradigma untuk beralih dari mengandalkan minyak sebagai penopang penerimaan negara dan sebagai sumber energi utama dalam pemanfaatan energi di Tanah Air sesungguhnya sudah digaungkan sejak lebih dari dua dekade lalu. Seruan itu pun sudah (selalu) dituangkan ke dalam dokumen-dokumen kebijakan energi nasional yang selama ini kita miliki.Namun karena hanya terhenti pada tataran (dokumen) kebijakan,sementara pada tataran eksekusi dan implementasinya minim, ketergantungan negeri ini terhadap minyak, baik dalam hal penerimaan negara maupun dalam hal pemanfaatan sumber energi masih tetap dominan hingga kini. Dalam hal penerimaan negara, selama lima tahun terakhir di mana harga minyak rata-rata mencapai USD64 per barel, kurang lebih 30% penerimaan negara di APBN masih bersumber dari minyak.

Dalam hal bauran energi, sejak awal 1990- an hingga saat ini,lebih dari 45% bauran energi primer dan 60% bauran energi final juga masih didominasi minyak. Kondisi seperti ini tentu bukanlah merupakan sesuatu yang layak dibanggakan atau patut dilanjutkan. Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasarinya. Pertama, karena jumlah cadangan minyak kita yang terbatas. Posisi saat ini, cadangan minyak terbukti (proven oil reserves) hanya ada di kisaran 3,75 miliar barel (hanya 0,4% dari total cadangan terbukti minyak dunia). Dengan tingkat produksi saat ini yang mencapai kurang lebih 345 juta barel per tahun dan jika tanpa ada penemuan cadangancadangan minyak baru, maka ketersediaan cadangan terbukti minyak kita akan habis hanya dalam waktu kurang dari 11 tahun dari sekarang. Upaya-upaya eksplorasi untuk menemukan cadangan-cadangan baru dari potensi minyak yang (dikatakan) mencapai 80 miliar barel lebih tentu harus diintensifkan dan ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kehabisan minyak tersebut.Namun harap diingat, hal tersebut tidaklah mudah. Selain membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi, eksplorasi tidaklah selalu berhasil. Artinya belum tentu dari 80 miliar barel lebih potensi minyak yang sering dikatakan ada,semuanya dapat menjadi cadangan terbukti yang dapat diproduksikan.

Bahwa produksi dan cadangan minyak kita selama sepuluh tahun terakhir berangsur-angsur terus menurun (produksi terus turun dari di atas 1,4 juta barel per hari di tahun 1999 menjadi hanya 948 ribu barel per hari saat ini dan pada periode yang sama cadangan terbukti turun dari 5,2 miliar barel menjadi hanya 3,75 miliar barel) adalah suatu indikasi yang sangat jelas bahwa ketersediaan minyak yang dapat diproduksikan di Tanah Air sudah semakin terbatas dan langka. Selama periode itu pula, target produksi (lifting)minyak pemerintah yang menjadi salah satu asumsi dasar APBN hampir selalu gagal terpenuhi.

Dengan kondisi seperti ini, jika kita masih terus memaksakan bergantung dan mengandalkan minyak sebagai andalan penerimaan negara, maka tidak hanya APBN sajalah yang dari tahun ke tahun harus mengalami tekanan fiskal (karena target produksi tak tercapai), tapi fenomena mengobral atau menjual murah pengelolaan sumber daya minyak kepada investorinvestorlah (utamanya asing) yang akan terjadi. Dalam konteks ini, hampir dapat dipastikan bahwa untuk memacu investasi demi mengejar peningkatan produksi yang belum tentu dapat dicapai, kebijakan pemberian aneka insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang tak jarang hingga mengorbankan kepentingan energi domestik akan (selalu) ditempuh.Dampak jangka panjangnya, bisa-bisa potensi minyak yang (dikatakan) mencapai 80 miliar barel tersebut benar-benar terbukti ditemukan dan dapat diproduksi, anak dan cucu kita di kemudian hari tetap tak dapat menikmatinya secara utuh karena sudah terlebih dahulu diijonkan kepada pihak asing. Maka, ke depan kiranya menjadi lebih baik untuk tak perlu (lagi) memaksakan diri terus- menerus menggenjot produksi minyak sehingga kita bisa memiliki posisi tawar yang lebih baik sehingga pada gilirannya justru dapat mendorong lahirnya pola pengusahaan dan pengelolaan minyak yang lebih menguntungkan bagi bangsa ini.

Prinsip tidak laku saat ini tidak menjadi masalah (karena dapat dimanfaatkan anak cucu di masa mendatang) hendaknya kita kedepankan dalam pengelolaan minyak nasional. Ini hanya bisa dilakukan jika kita secara sungguh-sungguh dan konsisten bertekad untuk tidak menggantungkan lagi penerimaan negara kita pada minyak. Kedua, karena kita memiliki sumber energi lain yang ketersediaannya lebih besar dibandingkan minyak. Gas alam dan batubara adalah dua sumber energi fosil lain yang kita miliki yang mestinya mendapatkan perhatian lebih serius untuk benarbenar ditempatkan sebagai sumber energi dan bahan baku industri domestik daripada hanya sekadar sebagai komoditas yang dapat diekspor untuk menghasilkan devisa. Dengan cadangan terbukti yang juga tergolong tak terlalu besar lagi (tapi terbilang masih cukup), sekitar 106 triliun kaki kubik, dan dengan defisit gas nasional yang terjadi saat ini, orientasi produksi gas semestinya bukan lagi untuk ekspor. Pembangunan infrastruktur gas seperti pipa transmisi dan distribusi, LNG receiving terminal, mestinya tak lagi sekadar diserahkan kepada mekanisme pasar (investor), tetapi butuh inisiasi dan intervensi langsung dari pemerintah untuk memulainya.

Demikian halnya dengan batubara. Dengan cadangan mencapai 4,3 miliar ton dan potensi mencapai 104 miliar ton, penggunaan batubara untuk energi domestik, khususnya untuk pembangkit listrik mestinya juga menjadi prioritas. Selain batubara dan gas, panas bumi adalah salah satu sumber energi lain yang terbarukan yang kita miliki yang semestinya juga kita manfaatkan untuk dapat mengurangi ketergantungan energi kita terhadap minyak. Dengan total potensi mencapai 27.000 MWe lebih, sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 1.000 MWe, jelas panas bumi merupakan sumber energi yang masih sangat potensial untuk dikembangkan. Selain itu,masih ada sumber energi surya, air, coal bed methane (CBM), dan bahan bakar nabati yang kesemuanya belum tergarap secara optimal. Maka, sudah sewajarnya kita tak lagi menggantungkan minyak sebagai sumber energi kita dan sudah sewajarnya pula bila segala sumber daya dan upaya kita kini tak lagi harus terlalu difokuskan kepada minyak. Dengan melakukan itu sesungguhnya kita bukanlah mengabaikan minyak yang memang tak dapat dibantah merupakan sumber energi paling strategis di dunia melainkan kita justru memeliharanya supaya lebih sustainable. Demi pengelolaannya yang lebih baik dan menguntungkan, tidak hanya bagi kita saat ini,tetapi juga bagi generasi yang akan datang.(*)

 

Saatnya Audit Sistem Kelistrikan

WASPADA ONLINE, 15 November 2009

JAKARTA Pemerintah didesak segera melakukan audit sistem kelistrikan PLN dalam program kerja 100 hari pertama. Fokus negara pada negoisasi IPP dinilai tidak menyelesaikan masalah.

Tuntaskan Divestasi NNT

Kompas, 14 November 2009

Jakarta, Kompas -Divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara harus segera dituntaskan. Penundaan akan menjadi preseden buruk bagi divestasi perusahaan tambang lain.

Pengamat: Antam Mundur, Upaya Pemerintah Sia-sia

Republika,12 November 2009

JAKARTA–Mundurnya PT Aneka Tambang (Antam) tbk dari konsorsium divestasi Newmont disayangkan sejumlah pihak. Salah satunya adalah pengamat pertambangan

Menteri ESDM Harus Tanggung Jawab Soal Pemadaman Listrik

detikFinance, 10 November 2009

Jakarta – Masalah pemadaman listrik yang semakin sering terjadi bukan hanya tanggung jawab direksi PLN. Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh sebagai menteri teknis dinilai sebagai orang yang paling bertanggung jawab soal pemadaman ini.

“Sebenarnya ini juga jadi tanggungjawab Menteri ESDM bukan hanya direksi PLN saja,” jelas Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada detikFinance, Selasa (10/11/2009).

Terkait pemadaman ini, Pri Agung menilai perlunya dilakukan emergency response (langkah darurat) untuk mengatasi pemadaman listrik di wilayah Jakarta.

Langkah-langkah yang bisa diambil misalnya dengan pengalokasian sejumlah dana untuk secepatnya mengganti/mengupgrade kapasitas trafo gardu induk,mengganti mesin pembangkit yang rusak, dan lain-lain.

“Intinya, PLN dan pemerintah mesti bersama-bersama terjun lansung ke hal teknis operasional,” jelas Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada detikFinance.

Selain itu, audit teknis terhadap sistem pembangkitan, transmisi dan distribusi mesti diselesaikan secepatnya.

“Jangan hanya masalah negosiasi 50 IPP saja yang jadi prioritas program 100 hari. Itu tidak menjawab masalah,” ungkapnya.

Menteri ESDM sebelumnya menyatakan, pemadaman listrik di wilayah Jakarta tidak dapat dihindari untuk jangka pendek. Ia berjanji akan mengatasi masalah pemadaman agar tidak terulang.